Kamis, 29 Oktober 2015

Cita-cita

"Bermimpilah setinggi langit, jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang."
-Ir. Soekarno

Mimpi...
Sangat erat kaitannya dengan cita-cita.
Hanya berbeda pada ruang lingkupnya saja, selama ini jika saya berbicara mengenai mimpi, pasti banyak pembahasannya, karena ruang lingkup mimpi itu global, kita bebas bermimpi apa saja, dalam hal apa saja, tidak akan ada yang melarang.

Jika bicara cita-cita, maka pembahasannya lebih spesifik, lebih kepada sesuatu yang akan kita jalani atau sama saja dengan "Kita di masa depan"

Saya termasuk orang yang berkeingintahuan besar, ya beda tipis sama kepo (anak zaman sekarang bilangnya begitu)
Saya suka bertanya kepada teman-teman saya tentang cita-cita mereka, berbagai macam jawaban saya dapatkan, mulai dari jadi polisi, tentara, ahli farmasi, pemain bola terkenal, teknisi pesawat, dan lain-lain.

Lalu saya mendapatkan cita-cita dengan jawaban terbanyak. Mau tahu apa cita-cita itu? Cita-cita itu adalah menjadi seorang GURU.
Rasa ingin tahu saya semakin besar, mulailah saya bertanya kembali kepada teman-teman saya yang ingin menjadi guru. Apa yang saya tanyakan? Ya, saya bertanya 'alasan' mereka mengapa mereka ingin menjadi guru. Karena bagi saya, setiap cita-cita yang ingin dicapai itu harus memiliki alasan yang kuat menyertainya. Alasan itu untuk apa? Untuk mengingatkan kembali tentang mengapa kita harus berusaha mewujudkan cita-cita itu, menjadi penyemangat ketika tekad mulai luntur, menjadi penarik ketika kita ingin keluar dari jalur perjuangan menuju cita-cita.

Mulailah saya bertanya kepada teman-teman saya, dan jawaban mereka pun beragam, bahkan ada yang membuat saya tersenyum sendiri...

Pertanyaan:
✋🏻Mengapa kamu ingin menjadi guru?

Jawaban
📣Si A: Karena saya suka dengan anak-anak.
📣Si B: Karena saya suka ngajar gitu, suka ngomong di depan orang juga.
📣Si C: Jadi guru enak, pulangnya gak terlalu sore hehe.
📣Si D: Salah satu cara awet muda hehe, kan ketemunya dengan yang lebih muda terus, otomatis semangatnya juga membara.
📣Si E: Gak pusing, karena gak selalu ngadepin komputer, enak pokoknya.
📣Si F: Kalau udah jadi PNS enak, gajinya banyak, terus mau kredit rumah juga gampang.
📣Si G: Kemungkinan di pecat/di PHK nya kecil, kan kalo kita gak bikin kasus, kita pensiun umur 65. Jadi bisa tenang kerjanya, beda sama yang kerja kontrak, ntar udah enak-enak kerja, tau-tau di PHK.

Banyak kan jawabannya? Hehe😊

Nah, saking saya suka kepoin orang (kepoinnya yang baik dan bermanfaat ya)
Akhirnya saya dikepoin balik sama salah satu teman saya, dia nanya gini: "Kalau kamu cita-citanya jadi apa?dan alasannya apa?

Skakmat!
Mau tidak mau saya harus jawab pertanyaannya....
Oke saya pun menjawab:

"Saya mau jadi seorang guru, karena ini....."
👇🏻👇🏻👇🏻👇🏻

ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﺍﻟْﺈِﻧْﺴَﺎﻥُ ﺍﻧْﻘَﻄَﻊَ ﻋَﻤَﻠُﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﻣِﻦْ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ
ﻣِﻦْ ﺻَﺪَﻗَﺔٍ ﺟَﺎﺭِﻳَﺔٍ ﻭَﻋِﻠْﻢٍ ﻳُﻨْﺘَﻔَﻊُ ﺑِﻪِ ﻭَﻭَﻟَﺪٍ
ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﻟَﻪُ
“Jika seseorang meninggal dunia,
maka terputuslah amalannya
kecuali tiga perkara yaitu: sedekah
jariyah, ilmu yang dimanfaatkan,
atau do’a anak yang sholeh” (HR.
Muslim no. 1631)

Jika saya menjadi seorang guru, saya memberikan ilmu kepada murid saya, dan murid saya mengamalkan, dan murid saya mengajarkan lagi kepada orang lain, hingga ilmu itu bermanfaat, maka pahala akan terus mengalir meskipun raga dan ruh saya telah berpisah.

Saya ingin mempunyai bekal untuk akhirat nanti, dan saya ingin mempersiapkannya dari sekarang. Menyenangkan bukan? Mempunyai cita-cita yang jika kau menjalaninya dengan baik maka dapat mengalirkan pahala terus-menerus?

Dalam hidup, kita boleh mempunyai berbagai alasan tentang dunia, tapi pada hakikatnya itu hanya sementara, di akhirat kita akan kekal, maka sertakanlah alasan akhiratmu di setiap langkah, agar waktu yang kamu punya selama di dunia tidak berbuah kesia-siaan belaka.

Di dalam hidup ini, kamu tak bisa berkata: "Hidup mengalir aja kayak air."
Tapi tahukan kamu bahwa air selalu menuju ke tempat yang lebih rendah?

Dan janganlah berkata: "Rencana hidup?liat aja nanti."
Hari gini kamu gak punya rencana hidup? Ingat, sesuatu yang sudah direncanakan dengan baik saja bisa mengalami kegagalan, lalu bagaimana yang tidak direncanakan sama sekali?

Pilih cita-citamu segera, rencanakan bagaimana hidupmu, bawa semua mimpi-mimpimu kepada Allah, berdoa kepada-Nya, dan biarlah Allah membimbingmu dalam mewujudkannya.

Semoga Bermanfaat😊

Ukhtukum,

Dwihanda Firdaus

Share:

Rabu, 28 Oktober 2015

Sebuah Teladan Nyata

KETIKA KAMU MENGUTAMAKAN ALLAH, MAKA LIHATLAH APA YANG ALLAH PERBUAT UNTUK HIDUPMU...

Hari ini cukup melelahkan, hingga membuat aku tertidur sejenak di dalam busway yang akan membawaku menuju halte transit seperti biasanya. Bapak penjaga pintu sudah siap siaga memberitahukan bahwa sebentar lagi busway akan sampai di halte transit, yaitu halte dukuh atas dua. Aku pun bergegas bangun dari tempat dudukku dan mempersiapkan diri untuk turun. Pintu busway pun terbuka, ku langkahkan keluar kaki kanan terlebih dahulu, disusul kaki kiri tak berapa lama.
Dengan langkah gontai aku menyusuri jembatan untuk berpindah halte. Di sepanjang jembatan aku melihat ke bawah banyak mobil yang berjejer rapi karena terjebak macet, riuh suara klakson kendaraan yang saling bersautan tak dapat dibendung, seakan mewakili suara sang pengemudi bahwa ingin segera sampai ke rumah. Terlepas dari kebisingan itu, tiba-tiba mataku tertuju pada seorang bapak yang berada di sudut jembatan, yang saat aku melihatnya beliau sedang bersujud. Tepatnya bapak itu sedang sholat! Beliau letakkan tas kulitnya di dekat kepala, dan hanya beralaskan selembar koran yang beliau jadikan sebagai sajadah.

Aku tetap berjalan melewati bapak yang sedang sholat itu, hatiku bergumam "Masyaa Allah! Orang seperti apa yang sholat di jembatan seperti ini, pasti bukanlah orang sembarangan."
Kakiku terus melaju, tapi fikiranku masih tertinggal bersama seorang bapak yang sedang sholat di sana, berulang kali aku menoleh ke belakang, berharap aku bisa menyapa dan berbicara dengan bapak itu.

Allah punya rencana, antrean manusia yang ingin transit mengular hingga ke atas  jembatan, mau tidak mau aku harus hentikan langkahku dan masuk ke dalam barisan. Pandanganku lurus ke depan, berharap antrean ini segera maju dengan cepat, ku coba melihat layar handphoneku yang menyala, dan spontan aku melihat ke belakang, jreeenggg!!! Tepat di belakangku seorang bapak yang tadi sedang sholat di sudut jembatan, tidak ku sia-sia kan kesempatan ini, untuk memenuhi hasratku yang sedari tadi ingin menyapa beliau, langsung saja aku membuka percakapan...

"Tadi habis sholat isya pak? Kok sholat di jembatan gitu?"
"Iya de, ya namanya sudah adzan, harus segera sholat."
"Bapak wudhu di mana?"
"Saya sudah wudhu di kantor tadi, kalau sudah ada wudhu, mau sholat di manapun jadi, waktu saya sekolah di Amerika, dan ketika saya mau sholat, teman-teman saya yang non muslim yang tadinya duduk di bangku langsung mempersilahkan saya memakai bangkunya untuk dijadikan tempat sholat, karena kalau di lantai kotor."

Betapa senangnya aku bisa berbicara dengan beliau, aku terkagum dengan perkataannya tentang sholat tadi. Pucuk dicinta, ulam pun tiba, semenjak bapak itu mengatakan Amerika, percakapan kami pun melebar...
Alhamdulillah antrean sedikit demi sedikit mulai melaju, sambil berjalan pelan, aku pun bertanya kembali...

"Amerika?S2 di sana? Memang dulu bapak S1 nya di mana?"
"Iya, saya S2 di sana, dulu saya S1 nya di FKUI."

Masyaa Allah, aku kembali mengucap kalimat itu dalam hati...
Ternyata bapak itu seorang dokter...
Tak berhenti di situ, aku dengan rasa penasaran yang tinggi pun bertanya kembali...

"Kalau di sana gimana cara tahu jadwal sholatnya pak?"
"Ya ada, misalnya subuh, subuh di sana itu jam 9 pagi, maghribnya jam 4 sore, jadi sudah tau."
"Oh gitu ya pak, bapak kuliah di Amerika beasiswa apa biaya sendiri?"
"Alhamdulillah, biaya sendiri..."
"Bapak kuliah Amerika apa itu cita-cita bapak?"
"Yaaa, banyak. cita-cita saya juga, keluarga juga, saya di Amerika 20 tahun, di Malaysia 6 tahun, di Australia 11 bulan."
"Hah? 20 tahun? Kalau begitu berarti bapak lulus S1 nya tahun berapa? Di 3 negara itu kuliah semua pak?"
"Saya lulus S1 tahun 1975, tidak semuanya untuk kuliah, jadi setelah lulus S1 saya mengajar di Malaysia, lalu ke Australia, baru saya kuliah S2 di Amerika."

Masyaa Allah, cerita bapak itu benar-benar menggetarkan hati saya, rasanya ingin menangis. Beliau tidak terlihat tua, wajahnya bersahaja, begitu pun cara bicaranya, kami terus berjalan pelan hingga sampai di pintu tempat kami transit, kebetulan kami menuju ke arah yang sama. Sejauh perbincangan kami, aku tidak menanyakan siapa namanya, dan kemana beliau akan pulang. Sambil menunggu busway kami datang, aku pun bertanya kembali...

"Jadi sekarang bapak ngajar aja di sini?"
"Iya, hmm...saya kasihan dengan dengan saudara-saudara kita yang di palestina sana, mereka membela kita, tapi sementara kita di sini tidak melakukan apa-apa, rata-rata yang meninggal di sana itu para hafidzh quran, di sana tak ada pengemis, walaupun mereka susah, tapi tidak mengemis, anak saya akan berangkat ke gaza dalam waktu dekat, dia dokter seperti saya, dia akan menjadi relawan di sana."
"Pak, kalau boleh tahu, apa sih rahasianya sampai bapak bisa seperti ini? Menjadi dokter lulusan universitas ternama dan melanjutkan kuliah luar negeri dengan biaya sendiri, bisa mengajar di luar negeri, anak bapak juga seorang dokter. Apa ada amalan-amalan khusus yang bapak kerjakan?"
"Tidak, kalau saya, dari dulu, pokoknya kalau sudah adzan saya langsung sholat, gak pake nunda. Mau di manapun."
"Oh jadi sholat tepat waktu ya pak?"
"Iya." Jawab bapak tersebut sambil tersenyum.

Masih banyak percakapan kami, tentang kondisi negara ini, tentang pemimpinnya dan lain-lain...

Tak terasa busway sudah tiba, kami dan penumpang lainnya saling berdesakan untuk masuk, bapak dokter itu berada di depanku, aku terjepit, di dalam hati aku berdoa: "Ya Allah, semoga aku tidak ketinggalan busway ini, aku masih ingin bicara dengan bapak tadi."

Alhamdulillah, aku dan bapak tersebut masih dalam satu busway, beliau di belakang daan aku di depan.
Busway pun melaju, mataku masih tertuju pada bapak itu, aku masih ingin bicara, masih ingin tahu...
Aku lupa menanyakan di mana bapak itu akan turun, aku benar-benar lupa...
Aku perhatikan terus bapak itu, berharap dia tidak turun terlebih dahulu, badannya yang tak terlalu tinggi mulai tertutup oleh penumpang lain, hingga aku hanya bisa melihat tangannya yang memegang tiang pegangan. Aku semakin gelisah, setiap busway berhenti di halte, aku selalu melihat keluar, apakah bapak itu sudah turun atau belum...
Alhamdulillah, bapak itu masih ada. Hingga busway berhenti di halte manggarai, akhirnya aku memberanikan diri menghampiri bapak itu, posisiku terjarak oleh dua orang penumpang lain, di padatnya penumpang dan berisiknya klakson kendaraan, aku pun bertanya kepada bapak itu:
"Pak, saya boleh minta nomor telepon bapak?"
"
Lalu aku bergegas menyiapkan papan ketik di handphoneku

"Boleh..."

Lalu bapak itu menyebutkan nomor handphonenya, sempat aku mengulang beberapa kali karena suara bapak tersebut tersamar. Dan aku tunjukkan layar handphoneku kepada beliau untuk memastikan nomor yang aku masukkan adalah benar, dan bapak itu pun mengangguk.

Pada akhirnya aku beranikan diri bertanya siapa nama bapak itu, itu pun karena aku harus mengisi nama kontak di nomor yang tadi bapak itu sebutkan...

"Nama bapak siapa?"
"Dokter Fajri"

Setelah berterima kasih aku kembali ke posisi awal yang berada di depan. Aku simpan nomor bapak tersebut dan aku coba menelepon untuk kembali memastikan bahwa itu benar nomor beliau. Dan ternyata nomornya tidak aktif, betapa bingungnya aku, jangan-jangan aku salah mendengar, kalau nomornya salah bagaimana? Posisiku sudah berada jauh dari bapak dokter itu, tak mungkin aku kembali menerobos barisan penumpang yang padat ini. Aku coba kirim ucapan السلام عليكم ورحمة الله وبركاته melalui sms, tetapi smsku tidak terkirim. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Dan....AHA! Aku bergegas menyegarkan kontak whatsappku, dalam benakku, pasti seorang dokter memakai whatsapp, pada saat itu aku berharap sang dokter memasang foto profil dirinya hingga aku bisa memastikan bahwa itu benar nomor Dr. Fajri.

Setelah menunggu sejenak, aku memasukkan nama 'Dr Fajri' di kolom pencarian kontak whatsapp.
Betapa senangnya aku, ternyata ada kontak whatsappnya, dengan segera aku buka foto profilnya, dan ternyata....BENAR! Ini nomor bapak dokter tersebut, terpampang jelas foto bapak dokter dengan seorang anak muda yang aku terka dia adalah putranya yang bergelar dokter pula, dia yang akan berangkat ke Gaza. Mereka terlihat sangat mirip.

Dari cerita ini kita bisa mengambil kesimpulan, bisa membuktikan bahwa perkataan
"Inna sirron najah fil hayat, ihsanus shilah billahi 'azza wa jalla"
(Sesungguhnya rahasia kesuksesan dalam hidup adalah berhubungan baik dengan Allah 'azza wa jalla)

Dokter Fajri telah memberi teladan, beliau mempraktekkan apa yang beliau katakan, "ketika dengar adzan, ya langsung sholat, di manapun berada."
Beliau telah berwudhu dari kantornya, agar ketika adzan terdengar, beliau langsung bisa sholat, meskipun di sudut jembatan dan hanya beralaskan koran.

Dokter Fajri telah mengutamakan Allah, maka tak heran banyak kesuksesan di dalan hidupnya, hingga kesuksesan itu juga di dapat oleh anaknya.

Semoga kita semua bisa mengikuti jejak Dokter Fajri, yang mengutamakan Allah dari yang lain...beliau taat pada Allah, hingga Allah pun menyayangi dirinya.

Semoga bermanfaat😊

Jakarta, 28 Oktober 2015
Di sepanjang jembatan halte dukuh atas satu & di dalam busway
Pukul 19.15

Dwihanda Firdaus

Share:

Senin, 12 Oktober 2015

Hadirku Tak Utuh

Entah bagaimana diri ini
Aku pun tak bisa menilainya
Baik atau buruk
Aku tak tahu

Semakin hari semakin berat rasanya
Sesuatu yang di kala ia hadir membuatku menangis tersedu-sedu
Sesuatu yang semakin banyak terucap justru menjadi setumpuk beban di pundakku

Pujian...

Jangan,
Tolong jangan berikan beban itu lagi
Aku tak sanggup menanggungnya

Apa yang kau lihat selama ini hanyalah setitik kebaikan di antara setumpuk dosaku

Dosa yang aku perbuat di masa lalu
Dosa yang bahkan aku sendiri tak dapat menghitungnya

Tahukah dirimu?
Bahwa sesungguhnya kau telah menguji diri ini
Kau ucap sesuatu yang tak ada pada diriku
Sesuatu yang kau lihat hanya di permukaan saja
Sesuatu yang sesungguhnya penuh dengan kemunafikan

Aku masih belajar
Aku masih mengais
Aku masih merangkak menuju cahaya yang selama ini kau kira aku telah bersinar karenanya

Aku ingin menjadi pelangi, meskipun pelangi di awan mendung
Aku ingin menjadi matahari, meskipun matahari di tengah rintik hujan
Aku ingin menjadi angin, meskipun angin di dalam gersang
Aku ingin menjadi lilin, meskipun lilin di gelapnya malam

Hadirku tak utuh,
Bisakah kau melihat itu?

Share:

Minggu, 11 Oktober 2015

Mari Berbagi ^_^



Aku tidak tahu dan tidak akan pernah tahu
Skenario seperti apa yang dibuat oleh Allah untuk para hambaNya, yang aku ketahui hanyalah...Dia pasti memberikan yang terbaik pada akhirnya, entah bagaimana jalan yang akan ditempuh menuju hal terbaik itu. Apakah jalan itu lurus-lurus saja, atau kah jalan berliku nan berkerikil.

Hidup bagaikan sebuah koin, yang mempunyai dua sisi, sebagai manusia, kita tak bisa memilih diantara keduanya, justru kita akan mendapatkan keduanya, mau tak mau, dan itu pasti.

Ada miskin, ada kaya
Ada sakit, ada sehat
Ada ramah, ada amarah
Ada cinta, ada benci
Ada susah, ada senang
Ada tangis, ada bahagia

Aku terkagum ketika Allah menjadikan kita para manusia beraneka rupa, bukan dalam konteks fisik saja
Tapi di dalam banyak aspek kehidupan.

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa
Kita akan mengerti sebuah pelajaran yang diberikan oleh guru karena perhatian kita tertuju padanya, dan berbahagialah bagi mereka yang mendapatkan ilmu dari guru-gurunya
Tapi sadarkah kita bahwa ada yang lebih memberikan pelajaran dan ilmu yang berlebih, Tak berwujud, tak bersuara, dia adalah KEHIDUPAN
Mungkin, jika pelajaran yang diajarkan oleh guru, semua orang dapat mengetahuinya
Tapi jika pelajaran itu diajarkan oleh kehidupan, hanya orang-orang yang mempunya kepekaan tinggi yang bisa menyadarinya.


Ada orang dengan tersenyum memasuki restoran mewah, memilih apapun yang mereka suka, tanpa berpikir berapa uang yang harus mereka keluarkan.
Tapi di sisi lain, ada orang berjuang mati-matian, memikul beban berat, untuk upah yang tak seberapa bahkan untuk bisa membeli sebungkus nasi dengan lauk seadanya dan harus dibagi beberapa.


Ada orang yang fisiknya sempurna, melangkah bebas kemana-mana
Tapi di sisi lain, ada orang kekurangan fisik, jangankan untuk berkelana, untuk berjalan saja setengah mati susahnya.


Ada yang masa kecilnya bahagia, mau apa tinggal minta, semuanya serba ada, biaya sekolah tak masalah, mau jajan tinggal ambil di mama, yang jam delapan saja sudah tertidur lelap di kasur dengan seprei doraemon dan nobita
Tapi di sisi lain, ada bocah-bocah yang tak punya kesempatan sama, mau sekolah mikir biaya, mau main tapi harus bantu orang tua, mau jajan ngamen dulu di jalan raya, jangankan seprei gambar doraemon nobita, kasur saja tak punya.


Ada yang kuliah di biayai orangtua, tak usah mikir bagaimana bayar uang semesternya
Tapi di sisi lain, ada orang yang menunda mimpinya hanya untuk mengumpulkan biaya.


Beberapa contoh ini bukan karena Allah tidak adil, tidak!
Tapi Allah ingin mengajarkan kita melalui kehidupan
Bahwa segala sesuatu itu harus disyukuri, sekecil apapun nikmat yang kita miliki dan jangan lupa berbagi kepada saudara-saudari.

Karena...

"Bila yang kita yakini adalah hidup soal mendapatkan dan memiliki, maka ketidakteraturan-lah yang akan terjadi, maka berbagi adalah cara untuk menciptakan harmoni menuju masyarakat yang madani." -am_hdc



Dwihanda Firdaus
Share:

Rabu, 07 Oktober 2015

Aneh-Aneh Saja

Hari ini aku memilih berangkat kerja lebih awal dari biasanya, karena melihat pengalaman kemarin, siang sedikit saja, kemacetan semakin merajalela, dan busway pun semakin sesak oleh orang-orang yang hendak mencari nafkah.

Untuk menuju halte busway, aku harus berjalan kaki sekitar 100 meter dari rumahku. Saat ingin menyebrang, tiba-tiba lampu lalu lintas yang sedari tadi berwarna merah kini berganti menjadi hijau, itu menandakan bahwa kendaraan boleh melaju, dan aku pun menghentikan langkah sejenak dan melihat kendaraan-kendaraan itu berlalu.

Pak polisi dari sudut kanan dan kiri melambai-lambaikan tangan seraya mengatur lalu lintas. Setelah satu menit berlalu, aku menoleh ke arah kiri melihat seorang pengendara sepeda motor diberhentikan oleh pak polisi karena menerobos lampu merah yang menyala dengan jelasnya di seberang sana.

Pengendara motor itu pun melipir, entah kalimat apa yang diucapkan oleh pak polisi, suaranya terkalahkan oleh kebisingan knalpot kendaraan yang beriringan melaju, pengendara motor itu terlihat mengeluarkan STNK dari kantung celananya.

Setelah lama mengamati, semakin lama nada bicara pak polisi semakin tinggi, menurutku, itu bukan tegas, tapi marah-marah. Ah! Aku tak suka orang pemarah, dan ada satu pertanyaan yang dilontarkan oleh pak  polisi kepada pengendara sepeda motor tadi, sebuah pertanyaan yang retoris menurutku. Dia bertanya: "Kamu itu punya otak gak sih?"

Seketika itu hati kecilku seakan ingin membantu pengendara sepeda motor sedari tadi yang mungkin sudah kesal karena dimarahi, hatiku mengucap: "Aduh bapak, nanyanya yang aneh-aneh aja, setiap orang itu diberi otak oleh Tuhannya, sudah pasti mereka punya otak pak." 

Sayangnya nyaliku terlalu ciut untuk ungkapkan itu ke pak polisi hehe. Tak disadari, karena keasyikan melihat pak polisi tadi, orang-orang yang sebarisan denganku itu telah berada di sebrang sana, ah, aku tertinggal, aku segera mengambil langkah seribu karena takut lampu lalu lintas berwarna hijau lagi.
Share:

HUJAN

Hari ini ada sesuatu yang berbeda
Tidak seperti biasanya
Tidak ada tanda apa-apa
Tak diundang
Kau hadir begitu saja

Untuk daerah perkotaan mungkin hadirmu biasa saja, hanya sekedar memberi tambahan kesejukan, atau menahan para pekerja yang ingin pulang ke rumah. Tapi, untuk saudara-saudara kami yang dilanda kekeringan, kau bagai oase di gersangnya padang pasir. Kau juga membantu memadamkan sang jago merah yang melalap hutan di beberapa daerah sana. Kau juga membawa harapan bagi satu-dua bocah yang yang mencari rupiah dengan membawa payung menyediakan jasa.

Tak jarang, aku mendengar cacian untukmu.
Tak jarang pula aku mendengar rasa syukur yang terucap.
Ah! Namanya juga manusia, cara pandang mereka berbeda.

Kalau aku sendiri, aku suka jika kau datang.
Aku bisa berdoa meminta keberkahan beriringan dengan rintik-rintik dirimu, dan berharap dosa-dosaku pun berjatuhan seperti dirimu.

Jika memandangmu dari berbagai sisi, aku suka tersenyum sipu.
Kau datang bersama, dari tempat yang sama.
Akan tetapi, masing-masing darimu jatuh ke tempat yang berbeda.
Ada yang langsung ke tanah, ada yang berkumpul di sungai, ada yang hinggap di dedaunan.
Tapi, pada akhirnya bermuara bersama di luasnya laut.

Kamu lucu
Ceritamu seperti kami, para manusia.

Kami lahir dari rahim para ibu, tanpa sehelai kain pun.
Ketika kami dewasa, kami punya jalan hidup yang berbeda.
Tapi pada akhirnya,
Kami semua kembali kepada Sang Pencipta


Share:

Wahai Pagi



Wahai pagi,
Terima kasih kau mau datang kembali,
Menemui diri ini yang masih setia untuk sendiri

Wahai pagi,
Hadirmu telah menyadarkan diri
Dari mimpi dan angan semalam tadi

Wahai pagi,
Sesungguhnya kau telah menjadi saksi
Bahwa Allah selalu mencintai hambaNya ini
Terbukti,
Dengan adanya hembusan nafas yang ku tarik sejak tadi

Wahai pagi,
Semoga kau selalu mengawal hati
Untuk tetap mencintai sang Ilahi
Tak lupa bermuamalah dengan saudara-saudari
dan menyongsong perbaikan diri ke arah yang lebih baik lagi
Share:

Senin, 05 Oktober 2015

Tangguh

Jika Bogor terkenal dengan kota hujan, Palembang terkenal dengan empek-empek, Bandung terkenal dengan serabi, Surabaya terkenal dengan kota perjuangan, lalu Jakarta terkenal dengan kota apa? Ya, sepertinya kita semua sudah tahu bahwa Jakarta terkenal dengan macetnya. Mau pagi, siang, sore, malam, macet terus. Seakan-akan macet sudah menjadi simbol untuk kota yang dulu bernama Batavia ini. Tapi, yang ingin saya ceritakan adalah bukan tentang macetnya, tapi suatu cerita di dalam kendaraan yang mengalami kemacetan. Seperti biasa saya berangkat kerja menggunakan bus transjakarta dan menyambung dengan metromini menuju lokasi saya bekerja, di busway (begitu sebutannya) semua nampak biasa saja, penuh sesak dengan para orang-orang yang ingin berangkat ke kantor. Alhamdulillah, saya mendapat satu kursi di dekat sang sopir, tadinya saya tidak memperhatikan sang sopir tersebut, tetapi busway mengerem cukup kuat hingga tubuh saya terdorong ke samping, sejak saat ini pandangan saya tertuju pada sang sopir. Lima menit saya memperhatikan sang sopir tersebut, untuk pertama kalinya, saya melihat sopir busway seorang wanita dengan dandanan layaknya seorang model. Semua penampilan fisik seakan berkata begitu. Ah, saya terkagum dengannya, seorang wanita mengendarai busway sebesar ini ditambah beban penumpang, betapa tanggungnya dia, entah apa yang menjadi latar belakangnya memilih pekerjaan sebagai supir busway, tapi terlepas dari alasan tersebut, saya bisa mengambil pelajaran, bahwa seorang wanita itu harus tangguh, bukan hanya dalam hal fisik saja, tapi dalam keyakinan dan mental. Karena dari seorang wanita, akan lahir pula wanita-wanita tangguh selanjutnya. "Jika kau ingin melihat keadaan suatu bangsa saat ini dan masa depan, masa lihatlah wanita-wanita yang berada di dalamnya"
Share:

Betapa Menyakitkan Sebuah Kebodohan

Ternyata benar, semakin banyak bertemu orang baru di dalam kehidupan kita, semakin banyak pula kita belajar, belajar apapun. Mulai dari bagaimana kita memahami orang lain, menerima segala sifat yang dimiliki orang-orang tersebut, dengan harapan mereka juga bisa memahami segala kekurangan yang berada pada diri kita. Lalu kita belajar memahami cara pikir orang-orang di sekitar kita akan segudang problematika di negeri ini. Dari sekian banyak hal yang dapat dipelajari, atau dipahami, ternyata bertemu dengan orang-orang banyak dapat menghancurkan batu besar di dalam diri yang bernama kesombongan. Selama ini, jika kita merasa sudah berilmu ini dan itu, sudah bisa itu dan itu, sudah merasa hebat dari orang lain. Tapi, ketika kita bertemu dengan orang-orang baru yang jauh melebihi kita, maka kita akan tertunduk malu atas apa yang kita banggakan selama ini, sesuatu yang hanya sebagian kecil kita kuasai. Mengenal orang lain juga dapat membuat kita introspeksi kepada diri ini, di umur yang sama, tapi pemahaman mereka akan ilmu agama jauh di atas pemahaman saya, penerapan Al Qur'an dalam hidup, fasih bahasa arab lisan dan tulisan, ilmu dunia yang lain pun jauh mereka kuasai. Lalu diri ini seraya berkata pada hati: "Apa yang kamu lakukan selama ini?" Ya Allah, ampuni diri ini yang mungkin telah banyak membuang-buang waktu, yang terlena akan dunia, yang tak sadar bahwa di dunia ini manusia hanya sementara. Suatu saat diri ini akan kembali pada Sang Pencipta, dan harus siap akan segala pertanyaan yang dilontarkan oleh Tuhannya. Ya Allah, diri ini terlalu bodoh bahkan untuk hal kecil yang menurut sebagian orang sudah menjadi hal biasa, otak ini terasa sangat kosong, layaknya sebuah ruangan, tanpa meja, tanpa kursi, tanpa lemari dan peralatan lainnya. Sudah kosong, gelap pula. Tak ada cahaya. Aku takut...aku takut...aku takut. Rasa takut itu selalu menghantui diri, bagaimana jika aku dipanggil menghadapmu tapi aku tak punya jawaban apa-apa? Entah jadi apa aku di akhirat nanti. Ya Allah, terima kasih atas setiap manusia yang Kau hadirkan di dalam hidup ini, yang membuat diri ini semakin belajar banyak hal, dan selalu menyadari diri bahwa begitu pahit sebuah kebodohan, terima kasih Kau juga telah ajarkan pada diri ini bahwa tidak boleh ada kesombongan di hati, karena di atas langit pun masih ada langit. Astaghfirullahaladzim...semoga Kau masih memberikan aku waktu untuk berbenah diri.
Share:

Pahamilah Cinta

"Jangan merusak diri sendiri. Selalu pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar menjaga diri. Tidak melanggar batas, tidak melewati kaidah agama. Karena esok lusa, ada orang yang mengaku cinta, tapi dia melakukan begitu banyak maksiat, menginjak-injak semua peraturan dalam agama, menodai cinta itu sendiri. Cinta itu ibarat bibit tanaman. Jika dia tumbuh di tanah yang subur, disiram dengan pupuk pemahaman yang baik, dirawat dengan menjaga diri, maka tumbuhlah dia menjadi pohon berbuah lebat dan lezat. Tapi jika bibit itu tumbuh di tanah yang kering, disiram dengan racun maksiat, dirawat dengan niat jelek, maka tumbuhlah dia menjadi pohon meranggas, berduri, berbuah pahit." (-Kakek Gurutta, Rindu, Tere Liye)
Salah satu dialog terbaik dari buku ini, terletak di bagian 48, halaman 495.
Share:

Minggu, 04 Oktober 2015

Gemakan Ramadhan 1436 H, MosqueLife Gelar Kemah Jurnalistik


Bogor – Sukseskan agenda “Musyawarah Muslim Jabodetabek” MosqueLife mengadakan kemah jurnalistik di Curug Cilember, Jawa Barat, (6-7/6). Kemah yang mengangkat tema “Gemakan Ramadhan 1436 H dengan Pena dan Kamera” ini diikuti oleh 25 peserta dan diisi oleh lima orang narasumber.
 
Banyaknya informasi kurang baik yang beredar di masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi kerangka tarbiyah masyarakat islam. Masyarakat Islam menjadi lebih mengenal kejahatan, korupsi, dan kerusakan lain ketimbang hal yang lebih bermanfaat. Kurangnya ekspose terhadap kiprah-kiprah masjid Se-Jabodetabek menjadi latar belakang utama kemah ini diadakan.

“Dari pelatihan ini diharapkan mekarnya kegiatan-kegiatan fotografi jurnalistik yang secara aktif melakukan laporan  jurnalistik tentang Kehidupan 1000 Masjid Se-Jabodetabek selama bulan Ramadhan 1436 H” ungkap Eko Budhi Suprasetiawan selaku ketua acara. Kehidupan masjid yang akan diekspose mencakup beberapa sudut pandang, diantaranya; Fasilitas masjid, kehidupan dhuafa, marbot, guru ngaji dan takmir yang mengelola masjid, peran pemuda dan tokoh pendidikan, serta infrastruktur di sekitar masjid.

Peserta kemah jurnalistik yang mayoritas berasal dari anggota seksi dokumentasi atau informasi di sebuah masjid, mahasiswa bidang kajian komunikasi massa, dan masyarakat umum yang tertarik terlibat dalam mempromosikan kegiatan-kegiatan masjid. Kemah yang berlangsung selama dua hari ini juga diharapkan bisa membantu peserta yang hendak mengembangkan diri dalam menjadi profesional maupunentrepreneur dalam  pengembangan corporate websitenews portal, dan e-commerceuntuk produk dan jasa.

Pemihan ruang terbuka sebagai lokasi kemah pun berdasarkan makna ketiga dari logo MosqueLife, yakni ingin mendekatkan muslim dengan alam. “Kegiatan pelatihan jurnalistik di alam terbuka jauh lebih seru daripada di dalam ruangan, selain suasananya yang sejuk dan nyaman, juga mempermudah kita menemukan ide-ide, pastinya melatih kita untuk mandiri” ujar Fatoni Saputra, Mahasiswa IPB.

Penulis novel Senda Irawan menjadi narasumber pertama yang menjelaskan bagaimana membuat reportase (peliputan) mengenai suatu objek atau peristiwa yang bersifat memberikan informasi, mendidik, menghibur, meyakinkan, serta menggugah simpati atau empati pembaca, dengan nama lain membuat feature article.
Narasumber kedua adalah Malhadi, Pimpinan Redaksi Hidayatullah yang berbicara tentang urgensi jurnalistik dan media untuk ummat. “Jurnalistik adalah ilmu praktek, bukan ilmu teori. Ibaratnya, jika anda selesai membaca buku panduan berenang setebal apapun, tapi jika anda tidak menceburkan diri ke dalam air, sampai kapanpun anda tidak akan bisa berenang” tutur Malhadi yang juga mengisnpirasi peserta dengan cerita perjalanannya menjadi seorang jurnalis.

Materi ketiga diberikan oleh Direktur depoknews.com Setiawan Eko Nugroho yang berbagi pengalamannya tentang bagaimana membangun media online dari nol. Laporan jurnalistik perlu dilengkapi dengan gambar yang mewakili cerita dan juga menarik, maka dari itu, MosqueLife mendatangkan dua narasumber yang bergelut dalam bidang fotografi. Wiku Suryomurti seorang fotografer yang juga penulis buku ekonomi islam, dan Nurrahman Adiwijayanto selaku fotografer profesional memberikan pengetahuan tentang dasar fotografi jurnalistik yang sekaligus menjadi materi penutup.

 “Acara kemah jurnalistik yang diadakan Mosquelife dapat menjadi contoh yang baik bagi para pemuda muslim Indonesia, dan ini menjadi deret harapan yang memberi inspirasi bagi setiap pemuda untuk melangkah ke depan membela agamanya dengan pena” ungkap Adritian sebagai salah satu peserta.
Share:

SABAR?PASTINYA!

Bukan perkara yang mudah untuk bisa hidup sebatang kara dikerasnya kehidupan Ibukota. Ya, tapi inilah kenyataan hidup yang harus dijalani oleh Najwa seorang anak perempuan berusia 14 tahun yang hidup sebatang kara yang berkeseharian menjadi penjaja gorengan. Ia tinggal di sebuah rumah kecil tua yang sudah ditinggal penghuninya. Sudah seharian ia menjajakan gorengan kepada penumpang bus di terminal, Karena merasa lelah, ia memutuskan untuk berisitirahat di sebuah halte bus. Di sana ia bertemu seorang ibu yang sedang menangis lalu ia pun bertanya:


“Ibu mengapa menangis?”

“Engg..Ibu kecopetan nak, ibu tidak sadar kalau dompet ibu diambil karena memang tadi ibu sedang tertidur”

“Nama ibu siapa? Hmm…memang ibu mau kemana?”

“Saya ibu Aminah, saya mau berkunjung ke rumah saudara saya di daerah Jakarta Utara, tetapi semua uang saya ada di dompet itu, dan alamat saudara saya pun ada di sana. Saya bingung harus bagaimana, mau kembali ke kampung pun saya tidak punya uang untuk membeli tiket.”

“Ehm…Yasudah bagaimana kalau ibu tinggal bersama saya dahulu, nanti kita fikirkan bagaimana caranya ibu bisa kembali ke kampung.”

“Apa nanti tidak merepotkan? Ayah dan ibumu memangnya mengizinkan kamu membawa orang ke rumah?”

“Hm..aku sudah tidak punya orangtua, mereka sudah meninggal dunia, aku hidup sendiri, bu..”

“Maaf nak, ibu tidak tahu.”

“Iya bu, tidak apa-apa, ayo bu kita segera menuju ke rumahku, hari mulai gelap, nanti kita kemalaman.”


Pukul 8 pagi Najwa mulai merapihkan dagangannya di sebuah bangku panjang yang ada di depan rumahnya. Tiba-tiba terdengar suara ibu Aminah memanggil


“Nak…Nak Najwa kamu di mana?”

“Aku di sini bu, di bangku depan”

Setelah mengetahui keberadaan Najwa, ibu Aminah pun segera menghampirinya

“Kamu mau berjualan ya nak? Ibu ikut ya, mau membantu, ibu ingin melakukan sesuatu untukmu karena kamu sudah menolong ibu”

“Hmm…jangan bu, ibu di rumah saja istirahat, aku bisa sendiri. Oh iya, tadi sudah aku buatkan sarapan untuk ibu, tapi maaf ya bu, hanya sedikit nasi dan kecap, karena aku tidak punya uang untuk membeli makanan, sebagian hasil berjualan kemarin sudah aku gunakan untuk membayar hutang bahan gorengan di warung, dan sebagiannya aku gunakan untuk modal berjualan hari ini.”

“Iya nak, tidak apa-apa, itupun ibu sudah berterimakasih kepadamu karna mau memberikan ibu makanan”

“Hmm…Yasudah bu, kalau begitu aku pamit berjualan dulu ya, takut kesiangan, nanti tidak laku dagangannya. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam”


Najwapun bergegas menuju ke terminal tempat ia biasa berjualan, akan tetapi di tengah perjalanan ia di hampiri oleh Rara, anak ketua RT di lingkungan rumah Najwa. Ternyata Rara memperhatikan Najwa dan ibu Aminah yang tadi berada di depan rumah, dan ia pun bertanya:

“Najwa, tadi aku melihat kamu bersama seorang ibu, itu siapa? Setahu aku kan kamu tidak punya ibu.”

“Itu bu Aminah, dia kecopetan kemarin, dan tidak bisa kembali ke kampung karena tidak punya uang, dan kebetulan bertemu aku di halte dekat terminal, yasudah aku bawa saja dia ke sini, daripada dia di terminal sendirian.”

“Alahhh…sok baik kamu, hidup kamu aja susah, mau menolong orang! Ibu itu mau kamu kasih makan apa? Pisang gorengmu itu, hah?!”


Karena hari semakin siang, dan Najwa pun tidak ingin berdebat, maka ia segera meninggalkan Rara dan menjawab pertanyaan Rara hanya dengan sebuah senyuman.

Hanya dalam waktu 15 menit dengan berjalan kaki Najwapun sudah tiba di terminal tempat ia menjajakan dagangannya. Dengan sabar ia menjajakan gorengan pisang itu ke bus-bus yang sedang menunggu penumpang, setelah ke bus satu, lalu pindah ke bus selanjutnya. Hari ini tidak secerah biasanya, langit pun terlihat gelap padahal waktu baru menunjukkan pukul 3 siang, tidak berselang lama, rintik air hujanpun turun dan semakin lebat. Najwa berlari menuju tempat berteduh, halte yang biasa di gunakan sebagai tempat beristirahatnya telah penuh dengan orang-orang yang berteduh, maka iapun harus mencari tempat berteduh yang lain.


“Aduh, haltenya penuh, mana aku lupa membawa plastik untuk menutupi gorengan pisangku ini.”


Karena tak kunjung dapat tempat berteduh, ia pun memutuskan untukpulang ke rumah, tetapi karena hujan semakin lebat, ia memilih berhenti di sebuah mesjid yang terletak tidak jauh dari rumahnya dan beristirahat di tangga mesjid tersebut, setelah ia melihat dagangannya, tiba-tiba iapun menangis karena semua dagangannya telah basah terkena air hujan dan tidak bisa di jual kembali. Tanpa ia sadari, di sampingnya telah duduk pak Budi yang ia kenal sebagai ketua RT di lingkungan rumahnya, pak Budi yang baru saja selesai melaksanakan shalat ashar lalu iapun bertanya kepada Najwa:


Najwa…mengapa kamu menangis?”

“Iiiiini pak, daganganku basah semua terkena air hujan, tadi aku lupa membawa plastik, jadi gorengannya hanya ditutupi koran, aku bingung karena gorengannya basah dan tidak bisa dijual lagi, dan pasti aku tidak memiliki modal untuk berdagang besok, hari ini gorenganku hanya terjual sedikit. Kalau aku tidak berdagang, aku tidak akan punya uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari.”

“Hmm…jadi begitu ceritanya, ini bapak ada sedikit uang sekiranya cukup untuk modal kamu berdagang esok hari.”

“Engg…maaf pak saya tidak bermaksud merepotkan bapak, tadi saya hanya bercerita.”

“Iya, bapak mengerti. Sudah ambil saja uangnya, dan segeralah pulang ke rumah, baju kamu sudah basah begitu, nanti kamu masuk angin.”

“Iya, Terimakasih pak. Yasudah saya pamit pulang ke rumah ya pak, mohon maaf kalau saya merepotkan bapak, sekali lagi terimakasih atas bantuan bapak.”

“Sama-sama nak, bapak juga senang bisa membantu.”


Ternyata benar, hujan yang mengguyur tubuh Nayla kemarin siang telah membuatnya demam, hari ini ia memutuskan untuk berjualan di siang hari, karena kalau ia tidak berjualan, maka yang terjadi adalah…dia tidak akan mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah melaksanakan ibadah shalat dzuhur ia pun bersiap menuju terminal.

Di tengah perjalanan, tepatnya di perempatan jalan, Najwa melihat segerombolan siswa SMA yang sedang dikejar oleh warga setelah melakukan aksi tawuran. Jarak antara Najwa dan segerombolan siswa SMA itu tidak terlalu jauh, dan Najwapun melanjutkan perjalanannya, tanpa ia duga-duga ternyata segerombolan siswa SMA itu berlari menuju ke arahnya dan semakin dekat, iapun meminggirkan tubuhnya agar tidak tertabrak oleh segerombolan anak SMA itu, tak disangka, meskipun sudah meminggirkan tubuhnya, tubuh Najwa tertabrak oleh seorang anak SMA yang sedang berlari, dan yang terjadi adalah…Semua gorengan pisangnya jatuh berserakan dan terinjak-injak.  


Tidak ada yang tersisa satupun di atas tampah dan tidak ada gorengan pisang yang bisa terselamatkan. Dengan tubuh yang masih lemas, iapun berlutut tak percaya bahwa gorengan yang ia harapkan akan laku dan menghasilkan uang untuk dirinya dan ibu Aminah itu sudah hancur tak berbentuk. Tidak ada yang membantunya untuk membereskan gorengan pisang yang terjatuh itu, tidak ada yang peduli. Airmata Najwa pun terjatuh tak tertahankan, dibenaknya  terdapat rasa sedih karena sudah dipastikan tidak ada uang sepeserpun yang akan ia bawa pulang ke rumah, serta rasa bingung karena ia tidak tahu apa yang harus ia dan bu Aminah makan untuk hari ini, dan bagaimana besok bisa berjualan lagi, iapun tidak tahu.


Selesai membereskan gorengan yang berserakan itu, Najwa memutuskan untuk pulang ke rumah,  dengan menghela nafas dan mencoba menguatkan tubuhnya, iapun berdiri secara perlahan, ia usap airmata yang membasahi pipinya dengan kemeja lusuh yang ia kenakan.

Dari kejauhan ibu Aminah yang sedang menyapu halaman pun terheran melihat Najwa berjalan menuju rumah.

“Lho...itu Najwa sudah pulang, cepat sekali, padahal baru satu jam yang lalu ia pergi berjualan, Ah, mungkin dagangannya laris hari ini, atau di borong oleh penumpang bus, Alhamdulillah...”

“Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumsalam, tumben nak sudah pulang? Dagangannya laris ya hari ini?”

“Engg...tidak bu, tadi di tengah jalan ada segerombol anak SMA yang sedang dikejar warga, dan salah satu dari anak itu menabrakku, dan semua daganganku jatuh berserakan, tidak ada yang bisa aku jual lagi bu.”

“Ya ampun, sudah sudah masuk dulu ke dalam, pasti kamu lelah, istirahatlah nak...”


Waktu menunjukkan pukul 5 sore, saat itu Najwa tengah memandangi celengan yang ia buat dari keleng bekas susu kental manis itu.

“Apa aku gunakan uang tabunganku saja untuk modal berdagang besok? Tapi kan uang itu sudah aku rencanakan untuk membeli tampah baru untuk berdagang, karena tampah yang lama kan sudah jelek dan kotor.”

Akhirnya Najwa pun memutuskan untuk membongkar celengannya itu dan menggunakan uangnya untuk membeli bahan berjualan esok hari, lalu ia bergegas menuju ke pasar yang buka sampai larut malam.
“Hmm...ternyata uang tabunganku baru sedikit, paling hanya cukup membeli ½ kg tepung, 1/4 minyak goreng dan satu sisir pisang. Tapi tak apalah semoga saja besok gorengannya bisa laku.”


Selesai berbelanja bahan, Najwa bertemu dengan pak Budi yang sedang membeli sapu dan kain pel lalu Najwa pun bertanya:
“Tumben pak beli sapu dan kain pel banyak begitu, mau buka toko perabot ya?”

“Ih si eneng bisa aja, sapu dan kain pelnya  akan digunakan warga untuk kerja bakti membersihkan mesjid besok pagi, makanya bapak membeli banyak.”

“Oh begitu ya pak, yasudah saya pamit duluan ya pak, sudah hampir maghrib.”

Pagi itu Najwa berubah fikiran, gorengan pisang yang sudah matang tidak ingin ia jual ke terminal, tapi ingin dia antarkan ke mesjid agar dapat dimakan oleh warga yang sedang bekerja bakti membersihkan mesjid. Lalu ia masukkan gorengan pisang itu ke dalam rantang yang tidak terlalu besar, dan bersiap menuju ke mesjid.

“Nak, kamu mau kemana? Mau berjualan? Kok bawa rantang? Tidak di tampah saja.”

“Hari ini aku tidak berjualan bu, gorengan ini mau aku antarkan ke mesjid untuk warga yang sedang kerja bakti.”

“Hmm...Yasudah, hati-hati ya.”

Setelah mengucapsalam Najwa bergegas menuju ke mesjid, dan sesampainya di sana ia bertemu dengan pak Budi.

“Assalamu’alaikum pak budi, pak ini ada sedikit makanan untuk warga yang sedang kerja bakti, gorengan pisang buatan Najwa.”

“Wa’alaikumsalam nak, aduh jadi repot-repot begini, tapi kenapa tidak kamu jual saja gorengan pisangnya? Lalu dari mana kamu dapat uang untuk membeli makanan dan modal besok?, bapak dengar kemarin kamu tertabrak anak SMA yang sedang lari di kejar warga dan daganganmu jatuh semua, bapak yang sedang membersihkan kaca itu yang bilang, karena dia ikut mengejar segerombol anak SMA itu.”

“Jangan membuang peluang kebaikan hanya karena ada masalah atau kekurangan, itu nasehat dari ibu Aminah.”

“Ibu Aminah? Ibu yang tidak bisa kembali kampung karena ia kecopetan?”

“Lah kok bapak tau tentang ibu Aminah?”

“Iya, Rara anak bapak yang menceritakannya.”

“Oalah Rara, iya pak.”

“Ini ada sedikit uang sekiranya cukup untuk membeli tiket bu Aminah pulang ke kampung dan juga untuk modal kamu berdagang besok.”

Dengan perasaan senang Najwapun segera kembali ke rumah dan tidak lupa ia mengucapkan terimakasih kepada pak Budi

“Assalamu’alaikum ibuuuuuuuu!!! Ibu aku dapat uang dari pak Budi ketua RT, uang untuk beli tiket ke kampung, supaya ibu bisa pulang, sore ini juga kita ke terminal, pasti keluarga ibu sangat khawatir di kampung. ”

“Wa’alaikumsalam,Alhamdulillah nak, ada yang mau berbaik hati membantu kita.”

Bus yang akan membawa bu Aminah ke kampung sudah menunggu, sebelum menaiki bus, tidak lupa bu Aminah berpamitan dan berterimakasih kepada Najwa yang telah membantunya selama ini. Perpisahan itu diwarnai dengan air mata bahagia Najwa dan bu Aminah, mereka sudah seperti ibu dan anak. Bus akan segera berangkat, bu Aminah menaiki bus itu, Pintu bus tertutup rapat dan bus langsung melaju pergi meninggalkan Najwa. Najwa menangis bahagia. Dari kejauhan bus yang membawa bu Aminah sudah tidak tampak lagi, hari semakin senja, Najwapun segera menuju ke rumah dan melanjutkan hidupnya tanpa bu Aminah.






















Share: