Rabu, 28 Oktober 2015

Sebuah Teladan Nyata

KETIKA KAMU MENGUTAMAKAN ALLAH, MAKA LIHATLAH APA YANG ALLAH PERBUAT UNTUK HIDUPMU...

Hari ini cukup melelahkan, hingga membuat aku tertidur sejenak di dalam busway yang akan membawaku menuju halte transit seperti biasanya. Bapak penjaga pintu sudah siap siaga memberitahukan bahwa sebentar lagi busway akan sampai di halte transit, yaitu halte dukuh atas dua. Aku pun bergegas bangun dari tempat dudukku dan mempersiapkan diri untuk turun. Pintu busway pun terbuka, ku langkahkan keluar kaki kanan terlebih dahulu, disusul kaki kiri tak berapa lama.
Dengan langkah gontai aku menyusuri jembatan untuk berpindah halte. Di sepanjang jembatan aku melihat ke bawah banyak mobil yang berjejer rapi karena terjebak macet, riuh suara klakson kendaraan yang saling bersautan tak dapat dibendung, seakan mewakili suara sang pengemudi bahwa ingin segera sampai ke rumah. Terlepas dari kebisingan itu, tiba-tiba mataku tertuju pada seorang bapak yang berada di sudut jembatan, yang saat aku melihatnya beliau sedang bersujud. Tepatnya bapak itu sedang sholat! Beliau letakkan tas kulitnya di dekat kepala, dan hanya beralaskan selembar koran yang beliau jadikan sebagai sajadah.

Aku tetap berjalan melewati bapak yang sedang sholat itu, hatiku bergumam "Masyaa Allah! Orang seperti apa yang sholat di jembatan seperti ini, pasti bukanlah orang sembarangan."
Kakiku terus melaju, tapi fikiranku masih tertinggal bersama seorang bapak yang sedang sholat di sana, berulang kali aku menoleh ke belakang, berharap aku bisa menyapa dan berbicara dengan bapak itu.

Allah punya rencana, antrean manusia yang ingin transit mengular hingga ke atas  jembatan, mau tidak mau aku harus hentikan langkahku dan masuk ke dalam barisan. Pandanganku lurus ke depan, berharap antrean ini segera maju dengan cepat, ku coba melihat layar handphoneku yang menyala, dan spontan aku melihat ke belakang, jreeenggg!!! Tepat di belakangku seorang bapak yang tadi sedang sholat di sudut jembatan, tidak ku sia-sia kan kesempatan ini, untuk memenuhi hasratku yang sedari tadi ingin menyapa beliau, langsung saja aku membuka percakapan...

"Tadi habis sholat isya pak? Kok sholat di jembatan gitu?"
"Iya de, ya namanya sudah adzan, harus segera sholat."
"Bapak wudhu di mana?"
"Saya sudah wudhu di kantor tadi, kalau sudah ada wudhu, mau sholat di manapun jadi, waktu saya sekolah di Amerika, dan ketika saya mau sholat, teman-teman saya yang non muslim yang tadinya duduk di bangku langsung mempersilahkan saya memakai bangkunya untuk dijadikan tempat sholat, karena kalau di lantai kotor."

Betapa senangnya aku bisa berbicara dengan beliau, aku terkagum dengan perkataannya tentang sholat tadi. Pucuk dicinta, ulam pun tiba, semenjak bapak itu mengatakan Amerika, percakapan kami pun melebar...
Alhamdulillah antrean sedikit demi sedikit mulai melaju, sambil berjalan pelan, aku pun bertanya kembali...

"Amerika?S2 di sana? Memang dulu bapak S1 nya di mana?"
"Iya, saya S2 di sana, dulu saya S1 nya di FKUI."

Masyaa Allah, aku kembali mengucap kalimat itu dalam hati...
Ternyata bapak itu seorang dokter...
Tak berhenti di situ, aku dengan rasa penasaran yang tinggi pun bertanya kembali...

"Kalau di sana gimana cara tahu jadwal sholatnya pak?"
"Ya ada, misalnya subuh, subuh di sana itu jam 9 pagi, maghribnya jam 4 sore, jadi sudah tau."
"Oh gitu ya pak, bapak kuliah di Amerika beasiswa apa biaya sendiri?"
"Alhamdulillah, biaya sendiri..."
"Bapak kuliah Amerika apa itu cita-cita bapak?"
"Yaaa, banyak. cita-cita saya juga, keluarga juga, saya di Amerika 20 tahun, di Malaysia 6 tahun, di Australia 11 bulan."
"Hah? 20 tahun? Kalau begitu berarti bapak lulus S1 nya tahun berapa? Di 3 negara itu kuliah semua pak?"
"Saya lulus S1 tahun 1975, tidak semuanya untuk kuliah, jadi setelah lulus S1 saya mengajar di Malaysia, lalu ke Australia, baru saya kuliah S2 di Amerika."

Masyaa Allah, cerita bapak itu benar-benar menggetarkan hati saya, rasanya ingin menangis. Beliau tidak terlihat tua, wajahnya bersahaja, begitu pun cara bicaranya, kami terus berjalan pelan hingga sampai di pintu tempat kami transit, kebetulan kami menuju ke arah yang sama. Sejauh perbincangan kami, aku tidak menanyakan siapa namanya, dan kemana beliau akan pulang. Sambil menunggu busway kami datang, aku pun bertanya kembali...

"Jadi sekarang bapak ngajar aja di sini?"
"Iya, hmm...saya kasihan dengan dengan saudara-saudara kita yang di palestina sana, mereka membela kita, tapi sementara kita di sini tidak melakukan apa-apa, rata-rata yang meninggal di sana itu para hafidzh quran, di sana tak ada pengemis, walaupun mereka susah, tapi tidak mengemis, anak saya akan berangkat ke gaza dalam waktu dekat, dia dokter seperti saya, dia akan menjadi relawan di sana."
"Pak, kalau boleh tahu, apa sih rahasianya sampai bapak bisa seperti ini? Menjadi dokter lulusan universitas ternama dan melanjutkan kuliah luar negeri dengan biaya sendiri, bisa mengajar di luar negeri, anak bapak juga seorang dokter. Apa ada amalan-amalan khusus yang bapak kerjakan?"
"Tidak, kalau saya, dari dulu, pokoknya kalau sudah adzan saya langsung sholat, gak pake nunda. Mau di manapun."
"Oh jadi sholat tepat waktu ya pak?"
"Iya." Jawab bapak tersebut sambil tersenyum.

Masih banyak percakapan kami, tentang kondisi negara ini, tentang pemimpinnya dan lain-lain...

Tak terasa busway sudah tiba, kami dan penumpang lainnya saling berdesakan untuk masuk, bapak dokter itu berada di depanku, aku terjepit, di dalam hati aku berdoa: "Ya Allah, semoga aku tidak ketinggalan busway ini, aku masih ingin bicara dengan bapak tadi."

Alhamdulillah, aku dan bapak tersebut masih dalam satu busway, beliau di belakang daan aku di depan.
Busway pun melaju, mataku masih tertuju pada bapak itu, aku masih ingin bicara, masih ingin tahu...
Aku lupa menanyakan di mana bapak itu akan turun, aku benar-benar lupa...
Aku perhatikan terus bapak itu, berharap dia tidak turun terlebih dahulu, badannya yang tak terlalu tinggi mulai tertutup oleh penumpang lain, hingga aku hanya bisa melihat tangannya yang memegang tiang pegangan. Aku semakin gelisah, setiap busway berhenti di halte, aku selalu melihat keluar, apakah bapak itu sudah turun atau belum...
Alhamdulillah, bapak itu masih ada. Hingga busway berhenti di halte manggarai, akhirnya aku memberanikan diri menghampiri bapak itu, posisiku terjarak oleh dua orang penumpang lain, di padatnya penumpang dan berisiknya klakson kendaraan, aku pun bertanya kepada bapak itu:
"Pak, saya boleh minta nomor telepon bapak?"
"
Lalu aku bergegas menyiapkan papan ketik di handphoneku

"Boleh..."

Lalu bapak itu menyebutkan nomor handphonenya, sempat aku mengulang beberapa kali karena suara bapak tersebut tersamar. Dan aku tunjukkan layar handphoneku kepada beliau untuk memastikan nomor yang aku masukkan adalah benar, dan bapak itu pun mengangguk.

Pada akhirnya aku beranikan diri bertanya siapa nama bapak itu, itu pun karena aku harus mengisi nama kontak di nomor yang tadi bapak itu sebutkan...

"Nama bapak siapa?"
"Dokter Fajri"

Setelah berterima kasih aku kembali ke posisi awal yang berada di depan. Aku simpan nomor bapak tersebut dan aku coba menelepon untuk kembali memastikan bahwa itu benar nomor beliau. Dan ternyata nomornya tidak aktif, betapa bingungnya aku, jangan-jangan aku salah mendengar, kalau nomornya salah bagaimana? Posisiku sudah berada jauh dari bapak dokter itu, tak mungkin aku kembali menerobos barisan penumpang yang padat ini. Aku coba kirim ucapan السلام عليكم ورحمة الله وبركاته melalui sms, tetapi smsku tidak terkirim. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Dan....AHA! Aku bergegas menyegarkan kontak whatsappku, dalam benakku, pasti seorang dokter memakai whatsapp, pada saat itu aku berharap sang dokter memasang foto profil dirinya hingga aku bisa memastikan bahwa itu benar nomor Dr. Fajri.

Setelah menunggu sejenak, aku memasukkan nama 'Dr Fajri' di kolom pencarian kontak whatsapp.
Betapa senangnya aku, ternyata ada kontak whatsappnya, dengan segera aku buka foto profilnya, dan ternyata....BENAR! Ini nomor bapak dokter tersebut, terpampang jelas foto bapak dokter dengan seorang anak muda yang aku terka dia adalah putranya yang bergelar dokter pula, dia yang akan berangkat ke Gaza. Mereka terlihat sangat mirip.

Dari cerita ini kita bisa mengambil kesimpulan, bisa membuktikan bahwa perkataan
"Inna sirron najah fil hayat, ihsanus shilah billahi 'azza wa jalla"
(Sesungguhnya rahasia kesuksesan dalam hidup adalah berhubungan baik dengan Allah 'azza wa jalla)

Dokter Fajri telah memberi teladan, beliau mempraktekkan apa yang beliau katakan, "ketika dengar adzan, ya langsung sholat, di manapun berada."
Beliau telah berwudhu dari kantornya, agar ketika adzan terdengar, beliau langsung bisa sholat, meskipun di sudut jembatan dan hanya beralaskan koran.

Dokter Fajri telah mengutamakan Allah, maka tak heran banyak kesuksesan di dalan hidupnya, hingga kesuksesan itu juga di dapat oleh anaknya.

Semoga kita semua bisa mengikuti jejak Dokter Fajri, yang mengutamakan Allah dari yang lain...beliau taat pada Allah, hingga Allah pun menyayangi dirinya.

Semoga bermanfaat😊

Jakarta, 28 Oktober 2015
Di sepanjang jembatan halte dukuh atas satu & di dalam busway
Pukul 19.15

Dwihanda Firdaus

Share:

0 komentar:

Posting Komentar