Bukan perkara yang mudah untuk bisa hidup sebatang kara dikerasnya kehidupan Ibukota. Ya, tapi inilah kenyataan hidup yang harus dijalani oleh Najwa seorang anak perempuan berusia 14 tahun yang hidup sebatang kara yang berkeseharian menjadi penjaja gorengan. Ia tinggal di sebuah rumah kecil tua yang sudah ditinggal penghuninya. Sudah seharian ia menjajakan gorengan kepada penumpang bus di terminal, Karena merasa lelah, ia memutuskan untuk berisitirahat di sebuah halte bus. Di sana ia bertemu seorang ibu yang sedang menangis lalu ia pun bertanya:
“Ibu mengapa menangis?”
“Engg..Ibu kecopetan nak, ibu tidak sadar kalau dompet ibu diambil karena memang tadi ibu sedang tertidur”
“Nama ibu siapa? Hmm…memang ibu mau kemana?”
“Saya ibu Aminah, saya mau berkunjung ke rumah saudara saya di daerah Jakarta Utara, tetapi semua uang saya ada di dompet itu, dan alamat saudara saya pun ada di sana. Saya bingung harus bagaimana, mau kembali ke kampung pun saya tidak punya uang untuk membeli tiket.”
“Ehm…Yasudah bagaimana kalau ibu tinggal bersama saya dahulu, nanti kita fikirkan bagaimana caranya ibu bisa kembali ke kampung.”
“Apa nanti tidak merepotkan? Ayah dan ibumu memangnya mengizinkan kamu membawa orang ke rumah?”
“Hm..aku sudah tidak punya orangtua, mereka sudah meninggal dunia, aku hidup sendiri, bu..”
“Maaf nak, ibu tidak tahu.”
“Iya bu, tidak apa-apa, ayo bu kita segera menuju ke rumahku, hari mulai gelap, nanti kita kemalaman.”
Pukul 8 pagi Najwa mulai merapihkan dagangannya di sebuah bangku panjang yang ada di depan rumahnya. Tiba-tiba terdengar suara ibu Aminah memanggil
“Nak…Nak Najwa kamu di mana?”
“Aku di sini bu, di bangku depan”
Setelah mengetahui keberadaan Najwa, ibu Aminah pun segera menghampirinya
“Kamu mau berjualan ya nak? Ibu ikut ya, mau membantu, ibu ingin melakukan sesuatu untukmu karena kamu sudah menolong ibu”
“Hmm…jangan bu, ibu di rumah saja istirahat, aku bisa sendiri. Oh iya, tadi sudah aku buatkan sarapan untuk ibu, tapi maaf ya bu, hanya sedikit nasi dan kecap, karena aku tidak punya uang untuk membeli makanan, sebagian hasil berjualan kemarin sudah aku gunakan untuk membayar hutang bahan gorengan di warung, dan sebagiannya aku gunakan untuk modal berjualan hari ini.”
“Iya nak, tidak apa-apa, itupun ibu sudah berterimakasih kepadamu karna mau memberikan ibu makanan”
“Hmm…Yasudah bu, kalau begitu aku pamit berjualan dulu ya, takut kesiangan, nanti tidak laku dagangannya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam”
Najwapun bergegas menuju ke terminal tempat ia biasa berjualan, akan tetapi di tengah perjalanan ia di hampiri oleh Rara, anak ketua RT di lingkungan rumah Najwa. Ternyata Rara memperhatikan Najwa dan ibu Aminah yang tadi berada di depan rumah, dan ia pun bertanya:
“Najwa, tadi aku melihat kamu bersama seorang ibu, itu siapa? Setahu aku kan kamu tidak punya ibu.”
“Itu bu Aminah, dia kecopetan kemarin, dan tidak bisa kembali ke kampung karena tidak punya uang, dan kebetulan bertemu aku di halte dekat terminal, yasudah aku bawa saja dia ke sini, daripada dia di terminal sendirian.”
“Alahhh…sok baik kamu, hidup kamu aja susah, mau menolong orang! Ibu itu mau kamu kasih makan apa? Pisang gorengmu itu, hah?!”
Karena hari semakin siang, dan Najwa pun tidak ingin berdebat, maka ia segera meninggalkan Rara dan menjawab pertanyaan Rara hanya dengan sebuah senyuman.
Hanya dalam waktu 15 menit dengan berjalan kaki Najwapun sudah tiba di terminal tempat ia menjajakan dagangannya. Dengan sabar ia menjajakan gorengan pisang itu ke bus-bus yang sedang menunggu penumpang, setelah ke bus satu, lalu pindah ke bus selanjutnya. Hari ini tidak secerah biasanya, langit pun terlihat gelap padahal waktu baru menunjukkan pukul 3 siang, tidak berselang lama, rintik air hujanpun turun dan semakin lebat. Najwa berlari menuju tempat berteduh, halte yang biasa di gunakan sebagai tempat beristirahatnya telah penuh dengan orang-orang yang berteduh, maka iapun harus mencari tempat berteduh yang lain.
“Aduh, haltenya penuh, mana aku lupa membawa plastik untuk menutupi gorengan pisangku ini.”
Karena tak kunjung dapat tempat berteduh, ia pun memutuskan untukpulang ke rumah, tetapi karena hujan semakin lebat, ia memilih berhenti di sebuah mesjid yang terletak tidak jauh dari rumahnya dan beristirahat di tangga mesjid tersebut, setelah ia melihat dagangannya, tiba-tiba iapun menangis karena semua dagangannya telah basah terkena air hujan dan tidak bisa di jual kembali. Tanpa ia sadari, di sampingnya telah duduk pak Budi yang ia kenal sebagai ketua RT di lingkungan rumahnya, pak Budi yang baru saja selesai melaksanakan shalat ashar lalu iapun bertanya kepada Najwa:
“Najwa…mengapa kamu menangis?”
“Iiiiini pak, daganganku basah semua terkena air hujan, tadi aku lupa membawa plastik, jadi gorengannya hanya ditutupi koran, aku bingung karena gorengannya basah dan tidak bisa dijual lagi, dan pasti aku tidak memiliki modal untuk berdagang besok, hari ini gorenganku hanya terjual sedikit. Kalau aku tidak berdagang, aku tidak akan punya uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari.”
“Hmm…jadi begitu ceritanya, ini bapak ada sedikit uang sekiranya cukup untuk modal kamu berdagang esok hari.”
“Engg…maaf pak saya tidak bermaksud merepotkan bapak, tadi saya hanya bercerita.”
“Iya, bapak mengerti. Sudah ambil saja uangnya, dan segeralah pulang ke rumah, baju kamu sudah basah begitu, nanti kamu masuk angin.”
“Iya, Terimakasih pak. Yasudah saya pamit pulang ke rumah ya pak, mohon maaf kalau saya merepotkan bapak, sekali lagi terimakasih atas bantuan bapak.”
“Sama-sama nak, bapak juga senang bisa membantu.”
Ternyata benar, hujan yang mengguyur tubuh Nayla kemarin siang telah membuatnya demam, hari ini ia memutuskan untuk berjualan di siang hari, karena kalau ia tidak berjualan, maka yang terjadi adalah…dia tidak akan mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah melaksanakan ibadah shalat dzuhur ia pun bersiap menuju terminal.
Di tengah perjalanan, tepatnya di perempatan jalan, Najwa melihat segerombolan siswa SMA yang sedang dikejar oleh warga setelah melakukan aksi tawuran. Jarak antara Najwa dan segerombolan siswa SMA itu tidak terlalu jauh, dan Najwapun melanjutkan perjalanannya, tanpa ia duga-duga ternyata segerombolan siswa SMA itu berlari menuju ke arahnya dan semakin dekat, iapun meminggirkan tubuhnya agar tidak tertabrak oleh segerombolan anak SMA itu, tak disangka, meskipun sudah meminggirkan tubuhnya, tubuh Najwa tertabrak oleh seorang anak SMA yang sedang berlari, dan yang terjadi adalah…Semua gorengan pisangnya jatuh berserakan dan terinjak-injak.
Tidak ada yang tersisa satupun di atas tampah dan tidak ada gorengan pisang yang bisa terselamatkan. Dengan tubuh yang masih lemas, iapun berlutut tak percaya bahwa gorengan yang ia harapkan akan laku dan menghasilkan uang untuk dirinya dan ibu Aminah itu sudah hancur tak berbentuk. Tidak ada yang membantunya untuk membereskan gorengan pisang yang terjatuh itu, tidak ada yang peduli. Airmata Najwa pun terjatuh tak tertahankan, dibenaknya terdapat rasa sedih karena sudah dipastikan tidak ada uang sepeserpun yang akan ia bawa pulang ke rumah, serta rasa bingung karena ia tidak tahu apa yang harus ia dan bu Aminah makan untuk hari ini, dan bagaimana besok bisa berjualan lagi, iapun tidak tahu.
Selesai membereskan gorengan yang berserakan itu, Najwa memutuskan untuk pulang ke rumah, dengan menghela nafas dan mencoba menguatkan tubuhnya, iapun berdiri secara perlahan, ia usap airmata yang membasahi pipinya dengan kemeja lusuh yang ia kenakan.
Dari kejauhan ibu Aminah yang sedang menyapu halaman pun terheran melihat Najwa berjalan menuju rumah.
“Lho...itu Najwa sudah pulang, cepat sekali, padahal baru satu jam yang lalu ia pergi berjualan, Ah, mungkin dagangannya laris hari ini, atau di borong oleh penumpang bus, Alhamdulillah...”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam, tumben nak sudah pulang? Dagangannya laris ya hari ini?”
“Engg...tidak bu, tadi di tengah jalan ada segerombol anak SMA yang sedang dikejar warga, dan salah satu dari anak itu menabrakku, dan semua daganganku jatuh berserakan, tidak ada yang bisa aku jual lagi bu.”
“Ya ampun, sudah sudah masuk dulu ke dalam, pasti kamu lelah, istirahatlah nak...”
Waktu menunjukkan pukul 5 sore, saat itu Najwa tengah memandangi celengan yang ia buat dari keleng bekas susu kental manis itu.
“Apa aku gunakan uang tabunganku saja untuk modal berdagang besok? Tapi kan uang itu sudah aku rencanakan untuk membeli tampah baru untuk berdagang, karena tampah yang lama kan sudah jelek dan kotor.”
Akhirnya Najwa pun memutuskan untuk membongkar celengannya itu dan menggunakan uangnya untuk membeli bahan berjualan esok hari, lalu ia bergegas menuju ke pasar yang buka sampai larut malam.
“Hmm...ternyata uang tabunganku baru sedikit, paling hanya cukup membeli ½ kg tepung, 1/4 minyak goreng dan satu sisir pisang. Tapi tak apalah semoga saja besok gorengannya bisa laku.”
Selesai berbelanja bahan, Najwa bertemu dengan pak Budi yang sedang membeli sapu dan kain pel lalu Najwa pun bertanya:
“Tumben pak beli sapu dan kain pel banyak begitu, mau buka toko perabot ya?”
“Ih si eneng bisa aja, sapu dan kain pelnya akan digunakan warga untuk kerja bakti membersihkan mesjid besok pagi, makanya bapak membeli banyak.”
“Oh begitu ya pak, yasudah saya pamit duluan ya pak, sudah hampir maghrib.”
Pagi itu Najwa berubah fikiran, gorengan pisang yang sudah matang tidak ingin ia jual ke terminal, tapi ingin dia antarkan ke mesjid agar dapat dimakan oleh warga yang sedang bekerja bakti membersihkan mesjid. Lalu ia masukkan gorengan pisang itu ke dalam rantang yang tidak terlalu besar, dan bersiap menuju ke mesjid.
“Nak, kamu mau kemana? Mau berjualan? Kok bawa rantang? Tidak di tampah saja.”
“Hari ini aku tidak berjualan bu, gorengan ini mau aku antarkan ke mesjid untuk warga yang sedang kerja bakti.”
“Hmm...Yasudah, hati-hati ya.”
Setelah mengucapsalam Najwa bergegas menuju ke mesjid, dan sesampainya di sana ia bertemu dengan pak Budi.
“Assalamu’alaikum pak budi, pak ini ada sedikit makanan untuk warga yang sedang kerja bakti, gorengan pisang buatan Najwa.”
“Wa’alaikumsalam nak, aduh jadi repot-repot begini, tapi kenapa tidak kamu jual saja gorengan pisangnya? Lalu dari mana kamu dapat uang untuk membeli makanan dan modal besok?, bapak dengar kemarin kamu tertabrak anak SMA yang sedang lari di kejar warga dan daganganmu jatuh semua, bapak yang sedang membersihkan kaca itu yang bilang, karena dia ikut mengejar segerombol anak SMA itu.”
“Jangan membuang peluang kebaikan hanya karena ada masalah atau kekurangan, itu nasehat dari ibu Aminah.”
“Ibu Aminah? Ibu yang tidak bisa kembali kampung karena ia kecopetan?”
“Lah kok bapak tau tentang ibu Aminah?”
“Iya, Rara anak bapak yang menceritakannya.”
“Oalah Rara, iya pak.”
“Ini ada sedikit uang sekiranya cukup untuk membeli tiket bu Aminah pulang ke kampung dan juga untuk modal kamu berdagang besok.”
Dengan perasaan senang Najwapun segera kembali ke rumah dan tidak lupa ia mengucapkan terimakasih kepada pak Budi
“Assalamu’alaikum ibuuuuuuuu!!! Ibu aku dapat uang dari pak Budi ketua RT, uang untuk beli tiket ke kampung, supaya ibu bisa pulang, sore ini juga kita ke terminal, pasti keluarga ibu sangat khawatir di kampung. ”
“Wa’alaikumsalam,Alhamdulillah nak, ada yang mau berbaik hati membantu kita.”
Bus yang akan membawa bu Aminah ke kampung sudah menunggu, sebelum menaiki bus, tidak lupa bu Aminah berpamitan dan berterimakasih kepada Najwa yang telah membantunya selama ini. Perpisahan itu diwarnai dengan air mata bahagia Najwa dan bu Aminah, mereka sudah seperti ibu dan anak. Bus akan segera berangkat, bu Aminah menaiki bus itu, Pintu bus tertutup rapat dan bus langsung melaju pergi meninggalkan Najwa. Najwa menangis bahagia. Dari kejauhan bus yang membawa bu Aminah sudah tidak tampak lagi, hari semakin senja, Najwapun segera menuju ke rumah dan melanjutkan hidupnya tanpa bu Aminah.