Rabu, 26 Oktober 2016

Hati Buka Suara

Sekian lama aku tak acuh
Pada sebuah kata bernama cinta
Jangankan untuk larut di dalamnya
Mendekatpun rasanya sangat takut

Bukan takut mencintai
Atau enggan dicintai
Tapi ku tahu
Jika mengikuti perasaan hati
Berkuranglah cinta untuk Ilahi

Hingga pada suatu ketika
Ada bahagia saat melihatnya
Ada sedih ketika ku tahu takdir
Belum sepakat mempertemukan kita

Peduli yang selalu ku tutupi dengan kata masa bodoh
Takut yang hanya berujung pada airmata
dan harapan yang kian tumbuh meski berdebat dengan kenyataan

Aku jatuh pada satu cinta
Yang tak pernah aku sangka
Bahkan tak ada dalam daftar doa
Ia hadir begitu saja

Hingga tiba suatu masa
Entah bukan aku yang menjadi pintanya
Atau sang ratu yang enggan merusak tahtanya
Hingga semua harus terlihat sempurna

Ratu berkata pada pangeran
Bahwa kau harus bersama seorang putri
Tidak boleh dengan pribumi
Apalagi hamba sahaya

Ketika malam memeluk harapannya
Ketika bintang yang selalu ia ratapi dari jendela
Ketika hujan jadi tempat menangis
Ketika sajadah menjadi saksi bahwa ada gadis yang menghamba diri

Sungguh tak enak memendam rasa
Bilang pun bukan saatnya
Meminta bersama belum selayaknya
Melihat diri yang masih penuh hina

Tak ingin berkeras hati
Memaksa Allah menjadikanmu pelengkap diri
Ku berharap, Allah kan beri pengganti
Atau tetap kamu, di saat yang tepat nanti

posted from Bloggeroid

Share:

Rabu, 19 Oktober 2016

Air yang Dirindukan



"Kalo mandi biasanya kamu butuh waktu berapa menit? Kira-kira berapa banyak air yang udah kamu pake? Masih suka ga peduli kalo liat air yang keluberan dan terbuang gitu aja?"

Itulah pertanyaan yang seketika saya ajukan kepada diri saya saat melihat video saudara kita di daerah Sumba Timur. Entah betapa terlalu sibuknya diri ini dengan berbagai urusan hingga masih ada saja yang luput dari pandangan.

Ya! Mereka, saudara kita yang seakan terlupakan. Yang kehidupannya sangat berbanding terbalik dengan kehidupan kita sebagai penghuni Ibu Kota sebuah negara kepulauan terbesar di dunia.

Coba letakkan lah sejenak segala urusan pribadi kita, coba tengok mereka yang di sana. Tak akan lama, sebentar saja. Untuk pastikan bahwa hati kita masih hidup, karena banyak di antara kita, raganya hidup, tapi hatinya mati. Jangankan untuk menolong, untuk mengetahui pun tak sudi.

Tahukah kamu? Bahwa di daerah sumba timur, 70% daerahnya adalah karang. Keadaan itu yang membuat mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Letak sumber air sangatlah jauh.

Dua Puluh Kilometer! Ya! Jarak yang sebanding dari Stasiun Manggarai (Jakarta Selatan) ke Taman Mini Indonesia Indah (Jakarta Timur). Itulah yang harus mereka tempuh hanya untuk mendapatkan air. Itu pun tak seberapa, hanya satu atau dua ember saja.

Kalo di Jakarta mah enak, jalanannya aspal semua, 30 menit juga sampai, bisa naik motor, mobil, angkot, dll. Lah kalo di sana? Bebatuan, hutan, licin. Gak bisa pakai kendaraan, harus jalan kaki, paling bagus cuma bisa naik kuda, itu pun gak semua orang di sana punya kuda.

Butuh waktu berjam-jam untuk menempuh perjalanan mendapatkan air itu. Pergi pagi, pulang siang, pergi siang, pulang sore. Begitu seterusnya. Tak jarang anak-anak pun membantu orangtuanya untuk mengambil air, dengan harapan bisa mendapatkan air lebih banyak untuk kebutuhan mereka.

Apakah kamu juga tahu? Seringkali mereka tidak berangkat ke sekolah, karena mengambil air butuh waktu yang lama. Hingga jika mereka berangkat di waktu pagi, mereka kembali ketika jam sekolah telah usai. Alhasil, sangat sangat sangat terlambat untuk sekolah.

Sudahkah hatimu tergerak? Bisa bayangkan bagaimana menjadi mereka? Haha...pasti sulit merasakan seperti itu, kita air tinggal muter, gak perlu susah-susah. Paling susah nimba sumur, itu pun paling jauh di depan halaman rumah, dan udah jarang banget yang pake sumur di zaman sekarang.

Inilah sedikit ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Negara kita tercinta. Di mana di pusat kota segalanya serba ada, serba mudah. Sementara di daerah yang lain, bak gelap gulita, kekurangan apa-apa. Bahkan untuk sesuatu yang wajib ada bagi penduduk Ibukota, ternyata masih ada saja orang yang sulit untuk mendapatkannya.

Sebuah tugas penting untuk pemerintah meratakan pembangunan di negara ini. Agar semua bisa mendapatkan hak mereka. Merasakan yang sama. Infrastruktur yang baik pasti sedikit banyak menjadikan kehidupan masyarakatnya lebih layak dan lebih baik.

Tidak hanya mengandalkan pemerintah saja, tapi kita pun harus turun tangan untuk ambil peran. Ini bukan tentang tugas siapa. Tapi tentang kepedulian. Karena kita manusia, punya hati, dan hati yang hidup tak kan berhenti untuk peduli.

Jkt, 19-10-2016
@dwihandafirdaus dalam #supermentor16

posted from Bloggeroid

Share:

Selasa, 18 Oktober 2016

Pendidikan, Pemutus Rantai Kemiskinan



"Ngemis emang halal, tapi gak berkah, karena kita ga pernah tau orang yang ngasih itu ikhlas apa nggak, jadi saya lebih baik mulung."
.
Itulah sepenggal perkataan dari ibu sumi (nama aslinya saya lupa) beliau adalah seorang pemulung, begitu pun dengan suaminya yang mempunyai pekerjaan yang sama.
.
Usianya tak muda lagi, sekitar 50-60 tahun. Setiap hari beliau dan suaminya berkeliling mencari barang-barang bekas untuk dijual. Dengan kondisi fisik yang sudah renta, ibu sumi tetap semangat mencari uang, meski yang beliau dapatkan tak sebanding dengan keringat dan rasa lelah yang dirasa. Ya! Setiap hari ibu sumi hanya mendapatkan uang 20.000 rupiah dari hasil penjualan barang bekas, itu pun jika kondisi cuaca yang baik, jika hujan, ibu sumi hanya dapat 15.000 ribu saja.
.
Bu sumi bercerita sewaktu beliau baru mempunyai seorang anak, ketika baru lahir, anaknya dibesarkan di bawah jembatan. Karena beliau tidak punya rumah. Waktu pun bergulir, anaknya mulai dewasa, bu sumi memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah yang kecil, cukup untuk tiga orang. Beliau berkata: "Saya tak ingin anak saya malu, tinggal di kolong jembatan, saya tak mau anak saya diejek oleh teman-temannya."
.
Ketika anaknya masih kecil, beliau harus bergantian menjaga anak, beliau bilang: "Kalau saya yang jalan mulung, suami saya yang ngemong anak, kalo suami saya yang jalan mulung, gantian saya yang ngemong."
.
Ternyata pekerjaan mulung sungguh melelahkan, suami ibu sumi mulai sakit karena kelelahan, terutama pada bagian kaki, sering sekali terasa sakit. Sekian lama suami ibu sumi sakit, pada akhirnya meninggal dunia, dan kini, ibu sumi membesarkan anaknya seorang diri.
.
Bu sumi yang tangguh membesarkan anaknya dengan tangannya sendiri, memberikan tempat tinggal, menyekolahkan, memberi makan, hingga anaknya kini berusia sekitar 15 tahun.
.
Meski seorang pemulung, ibu sumi sekuat tenaga menjadikan anaknya agar tidak seperti dirinya, agar anaknya punya masa depan yang lebih baik. Bu sumi berkata: "Meski mulung itu halal, tapi tetap saja itu pekerjaan jelek. Saya gak mau anak saya jadi pemulung juga seperti saya."
.
"Anak itu amanah, titipan Allah, harus kita jaga, kita kasih pendidikan." sambung bu sumi
.
Benarlah apa yang dilakukan bu sumi, karena salah satu cara untuk memutuskan rantai kemiskinan adalah melalui pendidikan. Banyak orang miskin dikarenakan mereka menerima nasib. Coba saja jika kita berusaha, sebagai orangtua, berusaha agar anak kita tidak seperti kita, dan bagi anak, tak boleh putus asa meski memiliki banyak keterbatasan. Yakinlah bahwa pendidikan dapat merubah nasib kita! Semangat!
.
Jkt, 18-1-2016
-dhfrds-

posted from Bloggeroid

Share:

Senin, 17 Oktober 2016

Kritik adalah Motivasi yang Tersembunyi

"Masa iya sih gue kaya gitu? Perasaan nggak deh. Yang gue lakuin cuma gini aja kok, masa disangka kayak gitu, masa dikritik gitu sih. Ngga ah kayaknya." ucapku di depan cermin seusai mendapat kritik dari teman organisasiku.

"Dahulu, aku pun gak terima dikritik, ngerasa gak kayak gitu kok." sekali lagi, itu menurut ku.

Menelisik jauh lebih dalam, memikirkan, mengingat kembali apa yang telah aku lakukan, dan menyamakan dengan apa yang mereka bilang, ternyata benar.

Aku punya blind spot, titik buta. Di mana hanya orang lain yang bisa melihatnya. Tentang kekuranganku, tentang apa yang berlebihan, tentang apa yang harus aku perbaiki.

Sadar atau tidak, mereka para pemberi kritik adalah seorang pemerhati yang sejati, di mana ketika yang lain hanya tahu kelebihanmu, dan tak mau ambil pusing dengan kekuranganmu, dan mereka ingin kau jadi lebih baik, iya mereka, sebenar-benarnya teman.

Saat kita mendapat kritik, berusahalah untuk menyampingkan ego dan amarah. Dengarkan apa penilaian orang tentangmu, bisa jadi, itulah kenyataan yang ada, yang tak kau sadari, motivasi yang tersembunyi di balik kritik yang kadang menyesakkan hati.

Berlapang dada tak hanya tugas orang yang dikritik. Tapi pengkritik pun harus lapang dada dan bijak, untuk menyampaikan kritik itu di saat yang tepat dan cara yang tepat. Banyak orang yang lari dan membenci ketika dikritik, bukan karena hal yang disampaikannya, tapi cara dan situasi yang tak tepat.

Mengutip dari ceramah Ustadz Khalid Basalamah, bahwa: "Seseorang yang marah apabila dikritik, berarti ia mempunyai masalah dengan tingkat egoisnya. Jika kita dikritik manusia, mungkin itu salah satu cara Allah untuk mengingatkanmu, akan sesuatu yang terlupakan olehmu, agar kamu lebih memperhatikan hal tersebut."

Bahkan manusia sekelas Khalifah Umar saja lebih suka dengan orang yang menunjukkan kesalahannya dibandingkan kelebihannya.

Masa kita yang biasa aja begini maunya dipuji terus? Sadari, bahwa pujian itu ujian, dan berpotensi melenakan kita, membuat kita merasa sudah baik, bahkan merasa lebih baik dari yang lain.

Waspadalah! 😊
Jkt, 16-10-2016
-dhfrds-

posted from Bloggeroid

Share:

Rabu, 12 Oktober 2016

Antara Bensin dan Iman

Seperti biasa, saya akan bercerita tentang sisi dari kehidupan, yang bisa kita maknai, atau sekedar kita analogikan, untuk diambil sebagai pelajaran.

Seperti hari-hari sebelumnya, saya mengendarai sepeda motor untuk pulang ke rumah, saat tiba di sebuah lampu merah, mata saya tertuju kepada layar di depan saya (atau yang biasa disebut spedometer). Saya melihat bahwa takaran bensin motor saya sudah berada di bawah garis tengah, maka saya pun memutuskan untuk melipir ke sebuah pom bensin yang tak jauh dari lampu merah.

Setelah bensin terisi, takaran bensin itu berangsur naik, hingga mencapai titik hampir fuel. Entah mengapa saya masih memandangi layar pada motor saya, dan berpikir tentang dua hal yang berbeda, tentang sepeda motor, dan iman.

Sebagai pengendara yang baik, maka kita tidak boleh membiarkan takaran bensin kita itu kosong, atau baru di isi setelah hampir habis, atau yang paling parah baru di isi setalah motornya mogok kehabisan bensin. Kita harus terus memperhatikan takaran bensin kita agar tetap berisi penuh, agar hal-hal yang tidak kita inginkan seperti motor mogok tadi tidak terjadi, yang mengakibatkan aktivitas kita terganggu, bahkan terhalang.

Begitu pun dengan iman kita, yang sering kali naik turun, dengan segala aktivitas dunia yang kita lakukan, jangan sampai kita lupa mengisi kembali dan terus mengisi iman kita, agar selalu fuel.

Jika iman ibarat bensin motor kita, yang apabila kosong tak kan bisa berjalan, maka bagaimana dengan diri yang imannya turun bahkan kosong?

Masalah dari sebuah motor tak hanya datang dari perihal bensinnya. Tapi bisa jadi ban kempes lah, mesin rusak, klakson ga bunyi, lampu sen mati, dan masih banyak hal lainnya.

Itu pun berlaku bagi seorang manusia, banyak ujian dan cobaan yang datang silih berganti, tanpa bisa diprediksi.

Bisakah kau bayangkan bagaimana sebuah motor dengan bensin kosong, lalu ban kempes, bagian depan belakang rusak tertabrak, klakson mati, lampu sen gak bunyi? Duh kayaknya udah jadi rongsokan aja ya?

Seperti itu kira-kira seseorang yang iman nya kosong lalu tertimpa musibah. Gak tau mau kemana, nyerah sama keadaan. Ke sana sini susah, berat banget rasanya.

Tapi, kalo aja bensin motornya penuh, kita masih bisa bawa motor itu ke bengkel kan? Lalu perbaikin semua kerusakan yang ada, hingga motor bisa berfungsi secara normal.

Nah, seperti itu pula seorang manusia yang tertimpa musibah, kalo di dalam dirinya ada iman yang kuat, yang penuh kepada Allah, maka dia tahu harus kemana, dia tahu cari solusi seperti apa, hingga akhirnya dia dapat keluar dari masalah itu.

So, jangan biarkan imanmu mengering sob!

posted from Bloggeroid

Share:

Realitas Lebih Besar dari Sebuah Kotak Berkaca

Hari ini kita belajar, bagaimana suatu generasi telah terbentuk dan semua pergaulan anda ditentukan oleh sebuah kotak pintar (hp). Sedangkan generasi saya adalah generasi yang dibesarkan oleh tatap muka. Semua urusan harus kita selesaikan dengan datang ke tempatnya dan bertemu dengan orang-orang yang kita hadapi.

Di belakang kita, sebuah jalan berliku telah kita lewati, sebuah generasi realitas yang kini tengah menjadi pendatang baru di dunia digital, tengah terseok-seok menatap masa depan baru.

Kami, guru-gurumu, di balik gerbang virtualitas itu mencoba memahamimu dari realitas yang tengah kau jalani. Kalianlah pribumi di dunia maya yang tak begitu kami kenal, dari kalianlah kami belajar tentang seluk beluk dunia digital. Kami terkejut menanggapi pesan-pesan dan kejadian di dunia maya, karena itu memang bukan dunia kami.

Tetapi sebaliknya, kalian terkejut-kejut keluar dari dunia maya, lalu bertempur dalam dunia realitas. Realitas itu bukan hanya selebar kaca di hadapanmu, sebab yang pintar itu, katanya, hanyalah ponselmu, smartphone, but not people.

Hari-hari ini kita tengah menapaki jalan perubahan yang panjang dan berliku, yang artinya kita harus siapp berkorban lagi keluar dari zona nyaman dari kehidupan berfoya-foya, menenggak barangkali termasuk subsidi menjadi sebuah gerakan kesejahteraan yang jauh lebih adil. Seimbang dari barat ke timur, dan adil hingga ke pedalaman Kalimantan.

Ilmu kita bisa pakai untuk membuat banyak hal yang bermanfaat, tetapi kita harus bersatu, bahu-membahu. Jangan biarkan dirimu terkoyak dibakar api kebencian oleh orang-orang yang bersembunyi di dunia maya. Sebab, itu bukan realitas.

-Rhenald Kasali dalam Mata Najwa Edisi Habibie dan Suara Anak Bangsa-

posted from Bloggeroid

Share: