Minggu, 25 September 2016

Nyanyian Sepotong Hati

Wajah dunia begitu menakutkan
Bagi seorang anak yang terbiasa di dalam sangkar
Bertahan pada rasa sakit yang menahun
Berharap bebas, tak beri derita untuk tuan

Alam seakan berbicara
Untuk menawar kepada si benalu
Memberi ataukah memaksa
Lari atau tinggal kini tak ada pilihan

Kilat bak tahu isi hati
Yang ingin menyambar-nyambar
Tapi takut untuk melukai
Jika gemuruh selalu berakhir sunyi

Hujan mengisyaratkan
Bahwa sangkar tetaplah sangkar
Tempat untuk kembali
Ketika semua sesak oleh penghuni

Bintang malu untuk bersinar
Ataukah diancam oleh sang awan?
Cahaya yang tak pernah dimengerti
Hanya selalu disalahkan arti

Siapa gerangan yang sudi menjadi pelindung
Bagi si lemah dan miskin papa
Setiap insan selalu ricuh
Atau bimbang antara abai dan acuh

Ciptaan bertanya kepada Pemilik Semesta Alam
Tentang apa yang diinginkan-Nya
Untuk menukar dosa dengan derajat
Atau memberi pelangi seusai badai

posted from Bloggeroid

Share:

Sabtu, 24 September 2016

Sepenggal Kisah Hijrahku (Bagian 1)



Aku tak pernah setuju dengan mereka yang berkata: "Gue aja belum bener, masih urakan, nanti aja pake hijabnya, benerin hati dan sikap dulu..."

Hey! Kamu tahu? Bahwa hati dan sikapku tak lebih baik dari mereka yang tak berhijab. Sungguh. Masih banyak kesalahan yang aku lakukan meski hijab ini telah menemaniku bertahun-tahun.

Tapi perlu kau tahu, hijab inilah yang akan menjadi sedikit penolong orangtuaku di akhirat, hijab inilah yang jadi pengingatku, bahwa aku berhijab, tak pantas melakukan ini dan itu yang tak baik. Hijab ini seperti pak polisi yang memberhentikanku. Meski seringkali ada saja yang aku langgar.

Perlu kau tahu, bahwa awal memakai hijab ini tak sepenuhnya karena Rabb-ku. Tapi kau juga harus tahu, bahwa perlahan Allah meluruskan niatku, dan memberikanmu banyak alasan akhirat mengapa kau harus menggunakannya.

Aku tak pernah merasakan rasa aman yang begitu kuat sebelum aku pakai hijabku. Sungguh, aku merasa Allah lebih dekat. Setiap langkah kakiku, ku yakini Allah menyertainya, meski ku lewati jalanan gelap dan sepi, segerombol orang yang sedang nongkrong, dan lain lain. Aku tetap merasa aman, padahal tak seorang manusia pun menemaniku.

Percayalah, ini hanya soal keberanianmu menjemput hidayahnya. Metamorfosis diriku yang aku pun tak pernah menyangka akan sampai pada detik ini. Aku merasa Allah sangat baik. Aku tak bisa bayangkan bagaimana jika kini aku masih menjadi diriku yang dulu. Entah akan menambah berapa gunung dan lautan dosaku itu.

Ah ku tak percaya...bagaimana mungkin aku yang dulu tak berhijab mulai berproses memakai baju lengan panjang dan celana jeans dan kerudung tipis. Ingat sekali ketika dulu rambutku masih terlihat karena belum pandai memakai hijab. Lalu Allah membimbingku kepada orang-orang yang shalihah, mungkin lebih tepatnya mereka yang sama-sama ingin menjadi shalihah.

Aku mulai memakai rok, kerudung lebih panjang, kaos kaki, manset tangan. Perubahan itu begitu indah. Meski ku alami penentangan dan komentar dari berbagai sisi, ah...ku tak peduli. Aku hanya ingin menaati Rabb-ku. Aku ingin jadi baik.

Bersambung...

posted from Bloggeroid

Share:

Minggu, 11 September 2016

Andai Kau Tahu

Betapa sering aku menangis melihat kebodohan diriku.

Tangisan itu semakin mengeras dan membuatku terisak saat kau nilai aku sebagai orang yang berilmu.

Andai kau tahu...

Betapa susahnya aku menjadi seperti yang kau anggap, bahkan seperti yang kau harapkan.

Seringkali penilaian demi penilaian itu memberikan beban berselimut motivasi untukku.

Bahwa di balik itu semua kamu berperan memacu semangatku.

Demi Allah kebodohan ini menyiksaku.

Memaksaku kembali memutar memori tentang masa dahulu yang ku habiskan tanpa arah yang menentu.

Membuatku merasakan penyesalan yang sangat mendalam yang selalu berujung haru.

Wahai siapapun kamu, inilah aku, hanya seorang pendosa lagi fakir ilmu.

Apa yang kau lihat baik pada diriku hanya sedikit kebaikan dari Rabb-ku, yang sudi menutupi semua aibku.

Andai kau tahu...

Bahwa aku dengan lapang dada ingin menerima ilmu, disertai membagi ilmu yang baru ku pahami, agar kita bisa saling meningkatkan kapasitas diri.

Apa yang kau lihat hari ini hanyalah bagian dari semangat berbagiku, yang selalu ingin aku tingkatkan setiap waktu, tentunya bersama pemahamanku.

Tegurlah aku dengan santunmu, jika kelak kau menemukan kekhilafan dalam kefakiran ilmuku.

Ajarkan aku apa yang tidak ku ketahui, dan lapangkanlah hatimu untuk memaafkan kebodohanku.

Sahabatmu,
@dwihandafirdaus

posted from Bloggeroid

Share:

Sabtu, 10 September 2016

Pemuda, Impian, Sang Raja



Alkisah, di sebuah daerah terpencil hiduplah sebuah keluarga yang mempunyai dua orang anak. Kedua anak ini semuanya laki-laki dan sudah beranjak dewasa. Anak yang pertama bernama Hanif, dan anak kedua bernama Raihan. Setiap hari mereka membantu ayah dan ibunya yang bekerja di sebuah sawah milik seorang raja yang memerintah pada daerah tersebut. Mereka bertugas membawakan hasil panen ke lumbung dekat istana Sang Raja. Seusai mengantar semua hasil panen, mereka bergegas pulang, saat melewati gerbang istana, mereka melihat secarik kertas berisi pengumuman sebagai berikut:

"Untuk seluruh rakyatku,

Dahulu, aku pernah menyimpan sebuah peti berisi emas dan barang berharga lainnya yang aku tanam di samping pohon besar yang berada di hutan, dan aku mengadakan sayembara, bagi siapa saja yang bisa menemukan peti itu dan membawa seluruh isinya ke hadapanku, maka aku akan memberinya setengah dari isi peti itu, dan jika orang yang menemukan itu adalah perempuan, maka akan ku jadikan ia sebagai anak angkatku, jika orang itu adalah laki-laki, maka akan ku nikahkan ia dengan putri pertamaku. Tapi satu hal yang harus diingat, jalan menuju hutan itu tidaklah mudah, penuh rintangan, peti itu tak akan bisa dibawa karena sangat berat, kalian hanya bisa membukanya dan membawa seluruh isi itu ke hadapanku, dan peti itu tidak akan bisa terbuka dan perintah dariku."

Seusai membaca pengumuman tersebut, Hanif dan Raihan menuju rumah dengan banyaknya pemikiran di kepala mereka tentang sayembara tersebut. Masing-masing dari mereka ingin mengikuti sayembara dari sang raja, tapi mereka sepakat untuk tidak memberitahu satu sama lain.

Tanpa pikir panjang, saat malam tiba, Raihan langsung menuju hutan, mencoba untuk menemukan peti itu. Lain halnya dengan Hanif, ia duduk termenung sambil memikirkan cara-cara menuju hutan, membawa bekal, dan mencari jalan yang lebih cepat untuk tiba ke pohon besar itu. Saat ia rasa semuanya telah siap, Hanif teringat pada petikan pengumuman sayembara tersebut, yang mengatakan "peti itu tak akan bisa terbuka tanpa perintah dariku..."

Saat itu pula Hanif tahu, bahwa ia tidak bisa berangkat menuju hutan malam ini, karena ia juga harus mengajak Sang Raja untuk bisa membuka peti tersebut.

Matahari telah menampakkan diri, Hanif berpamitan kepada kedua orangtuanya untuk datangi istana Raja. Sebelumnya ia telah memberitahu kalau ia ingin pergi ke hutan untuk ikut sayembara yang diadakan oleh Sang Raja. Setelah seluruh keperluan dan peta menuju hutan di bawanya, ia menuju ke istana. Sesampainya ia di istana, dengan segala hormat ia mengutarakan maksud kedatangannya yaitu mengajak Sang Raja pergi bersamanya, dan Raja pun bersedia.

Sang Raja telah mengetahui bahwa banyak sekali yang mengikuti sayembara ini, tapi tak seorang pun yang menyadari petikan terakhir dari pengumuman sayembara tersebut, mereka terlalu gegabah, tergiur dengan hadiah, hingga tak bisa berpikir lebih jernih. Ya, kecuali satu pemuda, yaitu Hanif.

Sejak malam itu, Raihan menyusuri jalan demi jalan menuju hutan, dan benar saja, jalan yang ditempuh amatlah jauh, sementara ia tak membawa bekal apapun, ia kelaparan. Tak berhenti di situ, Raihan juga berkali-kali tersesat karena gelapnya malam, terserang oleh hewan-hewan buas, dan bermacam rintangan lainnya.

Berbeda hal dengan Hanif, ia membawa segala keperluan mulai dari bekal makanan, penerangan, petunjuk jalan, dan lain-lain. Tenaganya selalu penuh karena perbekalan yang ia bawa sangatlah mencukupi, saat menghadapi hewan buas, Sang Raja membantunya, dan saat Hanif mengajak Sang Raja untuk melewati jalan yang telah ia pikirkan untuk sampai lebih cepat, tetapi Sang Raja malah menunjukkan jalan yang lebih cepat. Semuanya terasa mudah bersama Sang Raja.

Dengan waktu yang relatif singkat, akhirnya Hanif dan Sang Raja sampai di pohon besar di mana Sang Raja menanam peti itu, setelah di gali, Hanif mempersilahkan Raja untuk membuka peti itu. Dan benar saja, saat Raja memerintahkan "Bukalah, aku pemilikmu..." Seketika peti itu terbuka dengan mengeluarkan sinar yang menyilaukan pandangan Hanif.

Setelah memasukkan seluruh isi peti itu, Sang Raja berkata kepada Hanif:
"Sesungguhnya aku tak menyangka bahwa akan ada pemuda yang menyadari isi sayembara itu. Karena dari awal ku sampaikan sayembara itu, tak seorang pun yang datang untuk mengajakku pergi seperti dirimu."

Hanif hanya diam dan matanya berkaca-kaca, setelah semua emas dan barang siap untuk di bawa, Hanif dan Sang Raja segera kembali menuju istana. Tak berapa lama mereka berjalan, mereka melihat seorang pemuda yang nampak keletihan dengan baju yang sudah sobek dan kotor. Hanif mengenali pemuda itu yang lain tak bukan adalah adiknya, Raihan.

Hanif menanyakan mengapa Raihan bisa sampai di sini, karena Hanif tidak tahu bahkan kedua orangtuanya pun tidak tahu. Raihan menceritakan tujuan dan semua hal yang menimpanya. Raihan sangat menyesal karena pergi tanpa bekal, tanpa pamit dengan ayah ibunya, dengan gegabah, tak mengajak Sang Raja. Tujuan tak tercapai, di jalan pun kesusahan.

Akhirnya Hanif membawa adiknya pulang bersama Sang Raja. Sesampainya di istana, Raja menepati semua janjinya untuk memberikan sebagian isi peti itu kepada Hanif, dan menikahkan ia dengan putri pertamanya.


Dari cerita ini, kita bisa mengambil hikmah bahwa:

1. Jangan takut untuk mempunyai impian besar, terlebih kita tahu bahwa Yang Maha Besar akan menemani kita.

2. Tak hanya dengan mimpi, tapi juga disertai dengan usaha seperti membuat rencana dan pastinya dengan tindakan nyata.

3. Minta restu dengan orangtua, karena dari merekalah pintu-pintu kemudahan akan semakin terbuka.

4. Berpikirlah secara visioner. Jangan terburu-buru, keberhasilan butuh proses.

5. Sadarilah bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang lemah, tak bisa apa-apa tanpa Sang Raja Pencipta manusia. Allah Subhanahu wata'ala. Karena dengan Sang Raja, segalanya akan lebih mudah.

Semoga bermanfaat.
Jakarta, 10 September 2016
Dwihanda Firdaus

posted from Bloggeroid

Share:

Jumat, 09 September 2016

Realita vs Harapan

Masalah dapat terjadi salah satunya karena ketidaksesuaian antara realita yang kita alami dengan harapan yang kita lambungkan di dalam hati dan pikiran.

Sebagian orang menyiasati, katakanlah, hukum alam ini, dengan menurunkan standar ekspektasi, standar harapan, dan cita-cita. Alasannya agar mereka jatuh dan gagal, mereka tidak sakit atau bahkan, mati.

Cara ini arif dalam berbagai aspek, tetapi berdampak buruk dalam jangka panjang. Mengapa? Karena kita secara sadar akan "mengecilkan" keyakinan kepada kuasa Tuhan, seolah-olah Ia tidak mampu "memenangkan" kita, membantu kita meraih apa yang kita cita-citakan, seolah-olah kita tidak berhak atas apapun kecuali (hanya) nasib buruk dan masalah.

Cara yang lebih efektif sejauh ini adalah dengan "berharap untuk yang terbaik, bersiap untuk yang terburuk." Yaitu sikap untuk siap menang sekaligus siap kalah.

Kualitas mental dan psikologi untuk tidak jumawa saat menang serta tidak terpuruk saat kalah. Lapang dada. Legowo.

Ibarat pilot yang menyiapkan parasut just in case penerbangan berlangsung buruk. Tak ada yang berharap pesawat jatuh, tetapi setiap akan take off, pramugari selalu mengajarkan kita cara untuk menyelamatkan diri.

Hujan akan berhenti dan sesekali kita memang akan dan harus kalah. Kehidupan mungkin merenggut banyak hal dari kita. Kita jadi bisa kehilangan apa yang kita sayangi, tidak mendapatkan apa yang kita mimpikan dan butuhkan, tetapi life must go on. Hidup berjalan terus. Apapun ceritanya.

Sumber: 25 Ibadah Pilihan untuk keluar dari kemelut.

posted from Bloggeroid

Share:

Kamis, 08 September 2016

Jodoh



Bagi ia seorang hamba
Rupa tak kan jadi perkara
Harta hanya ujian belaka
Akhlak jadi fokus utama

Menusia memang banyak pinta
Mau cukup segalanya tapi tak usaha
Mau cepat dapatnya tapi tak berdoa
Kalau begitu caranya, mau datang darimana?

Gantung mimpi bisa dilangit
Tetap tapakkan kaki di tanah berbukit
Mau punya pasangan tanpa 'cacat'
Tapi sendirinya penuh maksiat

Kalau punya keinginan tinggi
Ada baiknya berkaca lagi
Apakah kriteria sudah terpenuhi?
Jika tidak lekas berbenah diri

Jodoh tak bisa diprediksi
Karena sudah digariskan oleh Ilahi
Daripada sibuk mencari
Lebih baik sibuk menjadi

posted from Bloggeroid

Share:

Rabu, 07 September 2016

Dialog Hati

Banyak manusia serasa sendiri
Banyak telinga seakan tuli
Banyak hati seperti mati
Satu Allah tapi selalu menemani

Berjuta kata selalu berakhir bungkam
Ditawan oleh mulut yang selalu gagap
Suara hati terpenjara di sudut kecil
Menunggu kesempatan berkelana namun itu hanya mimpi

Ada yang seperti benda di sana sini
Padahal ia lebih berakal dari sapi
Entah mengapa begitu menyayat hati
Sudah tahu tapi tak peduli

Pikiran tak punya jalan
Hati pun nasibnya tak jauh berbeda
Sedang untaian kata bak terbuang
Maka diam selalu jadi pilihan

Lapak demu lapak telah terisi
Oleh yang mempunyai egois tinggi
Tak ada tempat lagi
Tuk tumpahkan yang terpendam tanpa durasi

Pikiran tak punya teman
Hingga hati membujuk untuk bermain bersama
Berusaha menghibur satu sama lain
Meski kadang ada tangis berlapis senyum

Mereka mengadu pada Sang Pencipta
Tentang apa yang dirasakan sejak lama
Meski dengan mulut terkunci
Tapi yakin bahwa Penciptanya tak pernah tuli

posted from Bloggeroid

Share:

Kamis, 01 September 2016

Empat Pilar Pemuda Islam Dalam Menyongsong Kebangkitan

Generasi emas pada zaman Rasulullah saw adalah generasi yang berisi pemuda-pemuda pemberani, yang mengerahkan seluruh jiwa dan raganya untuk membela dan kemenangan Islam. Kekaguman pun muncul kepada generasi emas pada zaman Rasulullah saw ini, karena seluruh kontribusi yang mereka berikan untuk Islam mereka lakukan di usia yang masih sangat muda. Sebagai contoh, Az Zubair bin Awwam. Ia adalah sosok pemuda teman diskusi Rasulullah saw, anggota pasukan berkuda, tentara yang pemberani, pemimpin dakwah Islam di zamannya dalam usia 15 tahun. Sementara Thalhah bin Ubaidillah, seorang pembesar utama barisan Islam di Makkah, singa podium yang handal, pelindung Nabi saat perang Uhud berkecamuk dengan tujuh puluh luka tusuk tombak, donatur utama fii sabilillah, mendapat julukan dari Rasulullah saw: Thalhah si Pemurah, Thalhah si Dermawan di usianya yang masih sangat muda. Sa’ad bin Abi Waqash, seorang ksatria berkuda muslimin paling berani di saat usianya baru menginjak 17 tahun. Ia dikenal sebagai pemanah terbaik, sahabat utama yang pertama kali mengalirkan darahnya untuk Islam, lelaki yang disebut Rasulullah saw sebagai penduduk surga. Zaid bin Tsabit, mendaftar jihad fii sabilillah sejak usia 13 tahun, pemuda jenius mahir baca-tulis. Hingga Rasulullah saw bersabda memberi perintah: “Wahai Zaid, tulislah….”. Ia mendapat tugas maha berat, menghimpun wahyu, di usia 21 tahun. Usamah bin Zaid, namanya terkenal harum sejak usia 12 tahun, mukmin tangguh dan muslim yang kuat, Rasulullah saw menunjuknya sebagai panglima perang di usianya yang ke-20 dan memimpin armada perang menggempur negara adikuasa Romawi di perbatasan Syiria dengan kemenangan gemilang.


Beda zaman, beda perjuangan, beda kontribusi. Jika pada zaman Rasulullah saw para pemuda harus berhadapan dengan musuh-musuh Islam secara langsung, membela Islam dengan perang, membawa pedang, panah, tameng, serta menunggang kuda, maka setelah kemenangan Islam, perjuangan yang dilakukan para pemuda Islam bukanlah perjuangan yang menggunakan fisik lagi, melainkan dengan pemikiran. Seiring bergulirnya waktu, bergantinya zaman, hingga saat ini kita sampai pada suatu masa dengan kemudahan di segala aspek kehidupan. Ya, kita tiba di era globalisasi atau zaman modern. Musuh-musuh Islam pun memanfaatkan zaman ini untuk menaklukkan Islam, dan yang perlu diketahui adalah: mereka tidak akan menggunakan cara yang sama untuk menyerang Islam. Tidak dengan perang fisik. Lalu dengan cara apa? Jawabannya adalah: Ghozwul Fikr, atau perang pemikiran. Mengapa dikatakan demikian? Generasi Islam saat ini disuguhkan dengan berbagai macam kesenangan, agar mereka lupa dengan kewajiban mereka sebagai seorang muslim, bahkan dapat membuat mereka meninggalkan Islam. Sedikit contoh, generasi saat ini lebih suka membaca notifikasi media sosial daripada membaca al qur’an, menunda shalat karena sedang asyik chatting dengan teman, handphone ketinggalan hebohnya bukan main, tapi giliran al qur’an yang ketinggalan, biasa-biasa saja. Itu baru dari aspek teknologi saja, sudah membuat kita lalai akan perintah Allah, belum lagi ditambah dengan aspek yang lain seperti musik, makanan, pakaian, dan film. Pertanyaannya adalah: “Apakah kita sebagai generasi Islam terus-terusan mau seperti ini?”, terbawa arus globalisasi? Musuh-musuh Islam dengan bangganya tertawa melihat kita yang semakin lama semakin jauh dari Islam, karena dengan itu, berarti mereka telah menang! Mereka berhasil membuat generasi ini tidak suka baca al qur’an, berhasil membuat kita lalai dalam sholat bahkan meninggalkan sholat sekalipun! Inilah kenyataan perang yang sesungguhnya dihadapi generasi ini. Namun, tak banyak diantara kita yang menyadarinya.


Jika para pemuda pada zaman Rasulullah saw menyerahkan seluruh jiwa dan raganya untuk menjadi garda terdepan dalam perang fisik melawan musuh-musuh Islam, bagaimana dengan kita? siapkah kita menjadi garda terdepan pula dalam menghadapi perang pemikiran ini?. Menjadi garda terdepan berarti siap untuk berkontribusi lebih, bagaimana caranya? Mari kita lihat kembali pada zaman Rasulullah saw, pemuda pada zaman itu sangat aktif dalam membela agama Allah, saling berlomba-lomba dalam kebaikan. Pemuda zaman sekarang selayaknya bisa seperti zaman Rasulullah saw, jika dikaitkan dengan dengan zaman modern, minimal pemuda Islam saat ini aktif dalam kegiatan dakwah dan mumpuni dalam segala bidang untuk kemuliaan Islam. Dakwah di sini tidak hanya ceramah, karena sesungguhnya banyak cara untuk berdakwah, bisa melalui karya tulis, musik religi, dan lain sebagainya. Di zaman modern ini, dakwah yang harus dilakukan adalah dakwah dengan potensi diri masing-masing. Jika kita adalah seorang yang ahli teknologi, atau suka dengan teknologi, kita bisa mempergunakan alat-alat komunikasi seperti handphone untuk hal-hal yang baik, misalnya menyebarkan info kajian, audio dari ceramah ustadz, dan lain-lain. Jika kita ahli komputer, maka kita berdakwah dengan membuat pamflet atau wallpaper nasehat yang sedang tren saat ini. Jika kita seorang ahli ekonomi, maka berdakwah dengan ekonomi, misalnya berusaha mengerakkan sistem ekonomi Islam. Begitu pun bidang-bidang yang lainnya yang kita kuasai atau sukai, bisa dimasukkan sisi agamanya.
Jika potensi diri kita dapat kita gunakan sebagai kontribusi untuk seluruh ummat, maka sekarang kita beralih kepada kontribusi di ladang dakwah yang sesungguhnya. Kita merangkul dan mengajak teman-teman kita yang sudah terlanjur terbawa arus zaman modern ini untuk kembali kepada jalan Allah. “Dakwah? Wah kan susah, gak bisa sembarangan, harus punya ilmu agama yang cukup, gak berani ah.” Ya, jika kita telah mengetahui bahwa dakwah dibutuhkan pemahaman agama yang cukup, maka jadikanlah itu sebagai motivasi untuk belajar dan membekali diri kita dengan ilmu agama lebih dalam lagi, karena agama adalah hal paling mendasar. Beberapa cara untuk mendalami agama adalah dengan membaca al qur’an, membaca buku-buku Islam, tarbiyah secara rutin, dan jangan lupa untuk memperhatikan akhlaq kita pula. Sasaran utama dakwah kita adalah teman-teman yang usianya tidak beda jauh dengan kita, karena hal itu pula, kita harus mempunyai strategi dakwah yang baik, dakwah yang bersahabat, dakwah yang tidak terkesan menggurui, agar pesan yang kita sampaikan dapat diterima dengan baik oleh teman-teman kita tersebut. Penguasaan bahasa yang baik dan cermat akan situasi merupakan bagian dari dakwah yang bersahabat. Bahasa yang disesuaikan dengan target dakwah kita, jangan sampai misalnya kita mau berdakwah ke anak gaul tetapi memakai tatanan bahasa baku, yang seperti itu kurang bisa diterima. Cermat akan situasi artinya kita mengetahui saat-saat yang tepat untuk menyampaikan nasehat atau motivasi islami kepada mereka. Lingkungan berpengaruh besar terhadap perilaku seseorang, maka cobalah kita tarik mereka sedikit demi sedikit dari lingkungan yang membawa dampak negatif kepada mereka, kita ajak mereka ke pengajian, kajian-kajian ilmu Islam, ajak terjun ke dunia dakwah, dan melakukan kebaikan yang lainnya. Hasilnya mungkin tidak akan cepat terlihat, karena pastinya dibutuhkan proses, sedikit demi sedikit mereka akan melakukan perubahan dari dirinya, kita bisa membuat mereka tidak lagi terbawa arus globalisasi, membuat mereka hidup di zaman modern tapi berdampingan dengan Islam, membuat mereka bisa menyaring dampak yang ditimbulkan oleh zaman ini, mengambil yang baik, dan membuang yang buruk.


“Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” begitulah perkataan Presiden Soekarno. Begitu besar dampak yang akan diberikan kepada dunia ini jika seluruh pemuda dapat berkontribusi aktif dalam kebaikan, khususnya di zaman modern seperti ini. Pemuda Islam yang tak hanya memberikan kontribusi pada zaman modern ini, tapi juga menjadi pemuda Islam dalam generasi emas yang dapat menyongsong kebangkitan. Lalu, bagaimana caranya untuk menjadi generasi emas yang seperti ini? Ada empat pilar yang harus dimiliki oleh pemuda Islam. Keempat hal tersebut adalah: Faith, Intellectual, Leading, Life. atau disingkat FILL. Pertama adalah Faith (keyakinan), sebagai seperangkat prinsip dan nilai yang sekaligus menjadi misi suci dalam kehidupan, segala sesuatu harus dimulai dari keyakinan, karena keyakinan akan memberikan kekuatan. Kedua, Intellectual (kecerdasan). Intelektual yang mencakup kerja cerdas, kecerdasan menata pikiran, mental, dan juga fisik. Pemuda Islam harus memiliki semangat dalam belajar, yaitu semangat untuk mendayagunakan kemampuan yang ada pada dirinya, memiliki motivasi belajar yang benar, menjadi cerdas sekaligus memiliki karakter yang kuat. Ketiga, Leading (kepemimpinan), yang dalam artian seorang pemuda Islam harus bergerak memimpin, terdepan, dan bertanggung jawab. Keempat, Life (kehidupan), yang bermakna kehidupan yang luas, lebih tepatnya adalah seorang pemuda harus mempunyai tujuan hidup yang jelas, yang menjadi alasan bahwa kita tidak ingin hidup hanya meninggalkan tulisan dalam nisan kita, tapi kita ingin ada bekas kebaikan yang menjadi doa untuk kita dan untuk mendapatkan kehidupan yang sejati. Seorang pemuda Islam harus mengejar kehidupan yang lebih panjang dari masa umurnya, maka kehidupan itu adalah bola salju kebaikan yang akan terus membesar tatkala berputar.


Dengan bekal FILL, dan peran pemuda Islam yang seperti sudah dijabarkan di atas, semoga pemuda Islam dapat menyongsong kebangkitan untuk kejayaan ummat, bangsa, dan agama.

posted from Bloggeroid

Share: