Siang itu nampak berbeda dari biasanya, rasanya matahari
kian menyayangi bumi, suhu mendekati normal untuk wilayah Jakarta,
tidak terlalu panas, tidak juga dingin. Jauh berbeda dengan kondisi hati
Zahra saat ini, bak dirundung awan mendung, jika melihat raut wajahnya,
pantas saja matahari enggan datang. Dia terpaku pada salah satu bangku
halaman sekolah, tersisa dia sendiri, anak-anak lain telah berhamburan
pulang menuju rumah dari satu jam yang lalu.
Zahra
diliputi kebimbangan atas keputusan yang harus diambilnya segera. Saat
ini Zahra kelas tiga Sekolah Menengah Pertama. Pikiran Zahra tak karuan,
ditambah lagi dengan degup-degup jantung yang berdetak lebih cepat
karena menanti pengumuman kelulusan.
Zahra
termasuk anak yang pintar di kelasnya, bahkan dari semua murid, dia lah
yang terbaik. Menjadi juara satu paralel ternyata tak membuat hatinya
tenang dengan nilai ujian nasional nanti. Entah, kebiasaan buruk ini
kapan akan menghilang. Ketidakjujuran. Teman-teman Zahra membeli kunci
jawaban, dan yang ia tahu, kunci jawaban itu cocok dengan soal yang
diujikan beberapa Minggu yang lalu. Berita sukses nya ujian mereka
berkat kunci jawaban sudah menyebar kemana-mana, tak terkecuali, guru.
Zahra
berpegang teguh pada pendiriannya untuk tidak mencontek, semua soal
ujiannya dia kerjakan dengan kemampuannya sendiri. Dalam hatinya
berkata: "Aku gak boleh mengkhianati orangtuaku dengan nilai palsu hasil
ketidakjujuran, dan paling penting adalah Allah gak suka, Allah ngeliat
aku, mereka mungkin bisa membohongi semua orang, tapi tidak dengan
Tuhan Seluruh Alam."
Waktu
merangkak sore, tak ada yang berubah dengan isi kepala Zahra, masih
dengan keputusan yang harus dia ambil, dan tentang nilai ujian. Karena
tak ingin pulang kemalaman, Zahra bangkit perlahan dan berjalan pulang
menuju rumah. Di sepanjang jalan terus terngiang pesan ibunya, bahwa
ketika lulus nanti, Zahra harus masuk Sekolah Menengah Kejuruan. Dengan
harapan ketika lulus SMK, dia bisa langsung bekerja dan membantu ekonomi
keluarga yang saat ini hanya dipikul oleh Ibunya seorang diri. Ayah
Zahra telah menghadap Allah saat dia kelas satu SMP.
Hal
ini sangat berbeda dengan keinginan hati Zahra. Dia ingin masuk SMA,
agar bisa kuliah. Pemahaman orang-orang saat ini adalah SMA untuk
kuliah, SMK untuk bekerja. Dengan kondisi ekonomi yang 'payah' seperti
ini, Ibu Zahra berkata bahwa dia tak mampu jika harus membiayai
kuliahnya anaknya itu. Meskipun Zahra telah berulang kali menjelaskan
bahwa akan ada banyak beasiswa yang bisa dia raih, tapi tetap saja,
sekali tidak tetap tidak. Zahra tak kuasa untuk meneruskan
penjelasannya, dan setiap dia berbicara dengan Ibunya, keinginan Zahra
selalu kalah.
Hari yang
dinanti-nanti akhirnya datang. Pengumuman kelulusan. Tak disangka, Zahra
lulus dengan nilai rata-rata delapan koma tujuh, hal yang sangat
disyukuri olehnya, karena Allah telah membantunya dan juga karena kerja
kerasnya selama ini, terlebih untuk pelajaran matematika. Meski termasuk
anak yang pintar, Zahra pernah mendapatkan nilai empat untuk tryout
pertamanya. Tapi dia tidak menyerah. Zahra terus belajar hingga nilainya
terus membaik dan menyentuh angka sembilan koma lima pada ujian
nasional! Tak ada yang tak mungkin bagi Allah.
Singkat
cerita, Zahra akhirnya mengikuti kemauan sang ibu untuk melanjutkan
pendidikan ke Sekolah Menengah Kejuruan. Hati Zahra belum ikhlas
sepenuhnya. Tapi satu hal yang dia sadari, bahwa ridha Allah adalah
ridha orangtua. Maka ia ambil keputusan itu. Zahra bukan termasuk anak
yang pintar kali ini, karena memang dia merasa bahwa "Aku melakukan ini
untuk ibu..." Zahra tertinggal oleh yang lain. Ditambah Zahra harus
kembali mengalami pengkhianatan oleh teman-temannya yang terobsesi pada
nilai di selembar kertas. Ah, Zahra makin terasa 'lemah'
Waktu
demi waktu bergulir, walau tak sepintar yang lain, tapi Zahra termasuk
anak yang aktif di sekolahnya. Organisasi sekolah dan berbagai macam
kegiatan dia ikuti. Membuat mental Zahra semakin terasah, tak hanya itu,
Zahra banyak mendapat teman baru, dan yang paling penting, Zahra
mendapatkan pintu hijrah utamanya di sini. Teman dekat Zahra bisa
dihitung pakai jari, selebihnya hanya teman bertegur sapa. Tidak akrab.
Berbagai
macam problematika dia hadapi di sini, tapi itu semua membuatnya
semakin dewasa. Zahra Mempunyai pola pikir yang sedikit lebih maju dari
yang lain. Dalam soal mencari nilai, Zahra tetap pada prinsipnya, jujur!
Zahra sadar bahwa dirinya tertinggal oleh yang lain. Tapi Zahra selalu
berusaha untuk mengejar mereka, meski tak sejajar, setidaknya tak
tertinggal lebih jauh. Seringkali kebisingan yang diciptakan oleh
teman-temannya membuat Zahra harus keluar kelas lalu menyendiri di
bangku pelataran. Sambil membaca buku atau belajar materi-materi yang
belum dipahami bersama sahabatnya.
Sebab
hati yang belum ikhlas, Zahra sedikit sulit untuk menguasai pelajaran
yang menjadi jurusannya. Hingga tiba pada detik-detik ujian. Zahra
dihinggapi rasa takut yang teramat sangat. Takut tidak bisa menjawab
soal dan menyelesaikan rangkaian ujian kejuruannya. Tetap pada prinsip
jujur, Zahra belajar dengan keras agar nilainya kan baik, dia ingin
membahagiakan ibunya. Sahabat Zahra sangat membantu, tak pernah lelah
mendampingi Zahra di setiap sisi senang dan sulit, tapi lebih banyak
dalam sulit, sungguh dia sahabat yang tak ada duanya!
Waktu
ujian kelulusan semakin dekat, intensitas belajar Zahra ditambah! Dia
pernah tak tidur dua hari hanya untuk menyelesaikan soal-soal yang kan
menjadi gambaran ujian kejuruannya itu. Sementara itu, saat yang lain
juga sibuk menyiapkan ilmu untuk tes masuk kuliah, Zahra tidak
melakukannya. Dia menyadari bahwa itu kan sia-sia. Karena ibu tidak
merestuinya untuk kuliah, ibu ingin Zahra bekerja selepas lulus, sebab
itulah, Zahra tak ikut belajar persiapan untuk kuliah seperti yang lain.
Hari-hari
ujian itu tiba. Zahra kerjakan dengan mengerahkan segala kemampuan yang
ia miliki, menyandarkan apapun hasilnya nanti pada Sang Ilahi. Setelah
semua ujian selesai, tibalah saatnya pengumuman kelulusan dan nilai
untuk semua ujian. Allah tak pernah dusta, Zahra lulus dan mendapatkan
hasil yang tak pernah ia sangka. Sungguh hatinya berkata: "Ini berkat
Tuhanku, tak ada kekuatan yang lebih besar dari Allah Azza wa Jalla. Aku
hanya berusaha semaksimal mungkin...Allah tak mungkin membiarkan
seorang hamba terpuruk sementara dia berada di jalan-Nya."
Wisuda
dilaksanakan setelah beberapa Minggu dari pengumuman kelulusan. Zahra
tak terlalu memperdulikannya. Karena Zahra harus menyewa baju kebaya
untuk di pakai di hari bahagia itu. Zahra amat sadar bahwa ibunya tak
memiliki uang. Dia tak pernah memaksa. Rasa ingin hadir pasti ada, tapi
ia tepis jauh-jauh agar ibunya tak bersedih karena tak bisa menyewakan
baju untuknya. Hari wisuda itu Zahra lewati dengan membantu ibunya.
Sesekali dia melihat ponsel untuk mengetahui kabar mengenai wisuda hari
ini. Semua teman-teman nampak berbeda dari biasanya, lebih tampan dan
cantik. Mereka sangat bahagia. Zahra lalu tersenyum bersamaan dengan
tetesan air mata yang jatuh tanpa terasa.
Zahra
resmi menyandang gelar alumni. Fokusnya kini hanya satu, segera
mendapatkan pekerjaan untuk meringankan beban ibunya. Kali ini Zahra
kembali diuji, berbagai macam tempat dia datangi, ada pekerjaan di sana.
Tapi Zahra tidak bisa mengambilnya. Karena pekerjaan itu akan membuat
dia membangkang atas perintah Tuhannya. Iya, tentang Hijab. Zahra
berhijab syar'i. Kerudungnya menutup dada. Maka tak bisa dia bergabung
dengan perusahaan yang tak mengizinkan berhijab. Bak angin segar, ada
perusahaan yang memperbolehkan dia pakai jilbab, tapi harus pakai
celana. Lagi-lagi Zahra kecewa, karena Zahra tak terbiasa dengan itu.
Setengah
tahun Zahra tidak bekerja, keadaan ekonomi keluarga semakin melemah.
Zahra makin tidak enak hati. Dalam penantian atas sebuah pekerjaan,
Zahra selalu berdoa agar Allah memberikan pekerjaan untuknya yang tak
menghalangi jika memakai hijab syar'i. Beberapa bulan kemudian Zahra
mendapat jawaban atas doanya. Dia mendapat pekerjaan, tak ada larangan
dalam berpakaian, tapi sayangnya Zahra kembali harus pergi. Tempat
kerjanya melakukan kecurangan, yang bisa membahayakan posisi Zahra
sebagai yang paling bertanggung jawab atas hal itu, dan yang paling
penting, Zahra tak ingin menanggung dosanya. Empat bulan di sana, Zahra
mengundurkan diri.
Ibu
Zahra menyesali tindakan yang Zahra lakukan, karena sang Ibu tahu,
dengan berhentinya Zahra dari pekerjaannya, membuat keluarga mereka
kembali kehilangan bantuan penghasilan. Zahra mencoba menjelaskan mesti
hatinya begitu sedih, dia berusaha meyakini ibunya bahwa Allah kan
mengganti dengan yang lebih baik. Zahra terus berusaha. Tapi belum jua
dia temukan pekerjaan yang baru. Tanpa terasa ini
tahun kedua kesempatan Zahra untuk ikut tes perguruan tinggi negeri,
banyak di antara temannya yang bertanya: "Ra, tahun ini kamu ikut tes
kan?" Sungguh pertanyaan macam itu semakin membuat hati Zahra sakit.
Tapi dia balas dengan senyum dan berkata "In syaa Allah."
Jika
Allah mengizinkan. Takdir dan pilihannya membawa Zahra meninggalkan
kesempatan keduanya itu. Rasa ingin berkuliah di kampus negeri masih
ada, tapi sungguh rasa bakti dan pencarian Ridha ibunya jauh melebihi
segalanya. Zahra kembali bekerja. Kali ini sebagai pengajar murid di
sebuah lembaga bimbingan belajar. Zahra bahagia, tak ada larangan apapun
di sana. Justru teman-teman Zahra banyak yang seperti dirinya. Menjadi
seorang guru memang cita-cita Zahra yang sesungguhnya. Karena dari ilmu,
kebaikan kan terus mengalir meski dirinya telah tiada. Itu pemikiran
Zahra. Cukup lama Zahra berada di sana.
Tak
terasa waktu telah berpijak di tahun ketiga. Tahun terakhir bagi Zahra
untuk bisa mengikuti tes kuliah. Dari jauh hari, Zahra telah memikirkan
hal ini. Dia merenung dan berpikir. Dalam renungnya dia menangis, dua
tahun di kubur dalam dalam, keinginan itu masih saja ada. Dia menarik
nafas, berdoa untuk meminta yang terbaik kepada Allah. Keesokan harinya
Zahra seperti mendapat jawaban. Zahra memutuskan untuk tidak berkuliah
di kampus negeri. Dia memilih jalan lain. Kuliah sore menjadi
pilihannya. Sehingga dia bisa berbakti kepada Ibunya, sekaligus mengejar mimpinya itu.
Hari ini Zahra telah ikhlas sepenuhnya untuk melepas
keinginannya itu. Baginya, mimpinya tak pernah pupus. Hanya berpindah
dari satu tempat ke tempat yang lain. Zahra tersenyum, kali ini dia
begitu yakin. Salah satu sebabnya adalah firman Allah dalam surat Al
Baqarah, "...Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal
itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak
baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
Benar saja, Zahra kembali ditanya apakah dia akan ikut tes terakhirnya tahun ini. Zahra tersenyum dan menjawab dengan hati yang mantap "Tidak." Teman Zahra menyambung, "Lho, kenapa gak jadi? dan inilah jawaban Zahra:
Bekerja adalah salah satu bakti saya kepada orangtua. Jika saya ambil
negeri, berarti bakti saya berkurang selama 4 tahun, dan akan
menyusahkan, dan saya gak pernah tau umur saya sampe mana...atau orangtua saya sampe mana umurnya. Bukankah sungguh menyesal seorang anak ketika orangtuanya masih hidup tapi ia tak dapatkan surga dari baktinya? Di dalam Al Qur'an, Allah menempatkan bakti kepada orangtua setelah menyembah Allah dan bersyukur kepada Allah... Jadi in syaa Allah ini kan jauh lebih baik dan in syaa Allah yang terbaik😊.