Selasa, 12 November 2019

Tugas Terjemah: Mr. Nadiem Makarim's Interview



Pewawancara: “Apakah kamu pernah merasa terintimidasi dengan menjadi sangat muda?”

Nadiem Makarim: “Setiap waktu. Terintimidasi dan merasa sedikit takut pada waktu-waktu tertentu adalah proses yang sedang berlangsung yang saya pikir setiap anak muda di Gojek maupun di luar Go-jek harus bisa menghadapinya. Tetapi pada akhirnya saya percaya bahwa keberanian adalah kemampuan untuk mengatasi rasa takut itu karena setiap orang juga merasakan hal  yang sama. Maka, apakah itu mengintimidasi? Iya. Apakah saya tahu persis apa yang sedang saya lakukan? Hampir setiap waktu. Tetapi di teknologi, hal  yang lebih penting adalah memahami dan tidak percaya sepenuhnya pada sesuatu yang kamu pikir bahwa kamu mengetahuinya. Melainkan, percayalah pada angka dan data, bereksperimen dengan segala sesuatu yang kamu lakukan. Maka kamu akan selalu menilai  apapun berdasarkan data. Bagi  saya, selaku anak muda, saya merasa nyaman dengan tidak mengetahui semua jawabannya  karena di dalam pekerjaan yang saya geluti, berpikir bahwa kamu mengetahui jawabannya akan memberikan akibat yang sangat mengerikan. Di samping itu, terkadang saya berpikir kembali dan melihat betapa beruntungnya saya dan tim saya, dan betapa beruntungnya kami untuk memberikan pengaruh yang sangat luas. Setiap hari, kami merasa sangat terberkahi dan bersyukur atas setiap hal yang terjadi pada kami. Kamu juga tidak dapat mengabaikan peran dari keberuntungan dalam hal ini. Karena jika kamu selalu menggantungkan  semua kesuksesanmu dan apapun kepada dirimu sendiri, saat itulah orang berpikir bahwa kamu akan terpuruk dan gagal dalam banyak hal yang disebabkan oleh keangkuhan. Kamu harus senantiasa bersyukur karena ada kekuatan takdir yang mungkin tidak kamu sadari baru saja membawamu ke posisimu saat ini.”

Share:

Jumat, 22 Februari 2019

Esai Beasiswa Bazma Pertamina - Dwi Handayani


Bismillaahirrahmaanirrahiim, Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Perkenalkan nama saya Dwi Handayani, saya anak kedua dari empat bersaudara. Sudah seyogyanya setiap anak berbakti kepada orangtua, terlebih anak yang sudah dianggap dewasa. Cara yang dilakukan pun beraneka ragam, mulai dari memberikan tenaga hingga materi. Dari kecil, saya berpikir bagaimana saya bisa berbakti kepada orangtua selain dengan tenaga, ketika bakti dengan materi pun belum maksimal saya berikan, maka saya memutar otak untuk tetap berbakti dengan cara yang lain, yaitu melalui pendidikan. Jika saya belum bisa membahagiakan orangtua saya dengan materi yang berlimpah, maka di masa penantian itu, saya akan membuat mereka bangga dengan prestasi saya. Alhamdulillah, sejak masa sekolah dasar, hingga di bangku perkuliahan ini, saya selalu bisa mempersembahkan nilai terbaik bagi orangtua saya. Mengapa saya pilih pendidikan? Karena saya yakin bahwa pendidikan dapat mengubah pola pikir seseorang menjadi lebih terbuka dan maju, pendidikan pula yang akan memutuskan rantai kemiskinan. Selaras dengan perkataan Nelson Mandela: “Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia.” Maka, dengan cara inilah saya akan mengubah kehidupan keluarga saya ke arah yang lebih baik.


Selain mengabdi kepada orangtua, saya pun merasa memiliki tanggung jawab untuk mengabdi kepada tanah air tercinta, yaitu Indonesia.  Negara dengan lebih dari 17.000 pulau dengan segala kekayaan yang ada di dalamnya, hal itu harus diseimbangi dengan kualitas sumber daya manusia yang baik sebagai pengelolanya. Seperti perkataan Presiden Republik Indonesia ke-7, Ir. Joko Widodo yang dimuat pada situs presiden.go.id, bahwa kemajuan suatu negara sangat bergantung pada sumber daya manusianya. Maka, sebelum berkontribusi lebih jauh, saya harus mempersiapkan diri saya untuk menjadi SDM yang baik dan terdidik melalui pendidikan yang sedang saya jalani saat ini. Saya mengeyam pendidikan di Universitas Indraprasta PGRI dengan konsentrasi studi Bahasa Inggris. Di era globalisasi, Bahasa Inggris telah menjadi suatu hal yang essensial, di mana bahasa tersebut digunakan dalam berbagai aspek seiring dengan kemajuan zaman. Dengan memahami Bahasa Inggris pula, saya dapat menggali ilmu lebih banyak, dikarenakan informasi dari belahan dunia ditulis dalam bahasa ini sebagai bahasa internasional. Hal ini bisa dibuktikan ketika kita mencari informasi pada google, sebagai contoh jika kita mencari dalam Bahasa Indonesia “Cara Menangani Demam”, maka hasil yang kita dapat sebanyak 2.980.000, apabila kita pakai kata kunci dalam Bahasa Inggris “How to Handle Fever”, maka hasil yang kita dapatkan sebanyak 100.000.000. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan Bahasa Inggris, kita akan mendapatkan sumber ilmu lebih variatif, dengan banyaknya ilmu yang akan saya dapatkan, maka akan semakin banyak pula ilmu yang dapat saya terapkan, khususnya di Indonesia.



Setelah studi Strata-1 saya selesai, saya akan mengabdikan diri saya menjadi seorang guru, mendidik generasi ini tidak hanya dari segi kecerdasan akal, tapi juga kemuliaan akhlak. Karena dewasa ini, pendidikan dan akhlak seakan menjadi hal yang terpisahkan, pelajar hanya dituntut dalam keberhasilan akademiknya, tanpa memperhatikan bagaimana perangainya. Padahal, menurut seorang aktivis HAM Dr. Martin Luther King, Jr. “Intelligence plus character that is the goal of true education.”  Karena jika pelajar memiliki akhlak yang baik, maka ia akan lebih bijak dalam menggunakan ilmunya. Seperti para ulama Islam terdahulu yang mempelajari adab lebih lama dari pada ilmu itu sendiri, yaitu 30 dan 20 tahun. Akhir-akhir ini dunia pendidikan Indonesia dibuat miris oleh kasus pelajar yang menganiaya gurunya, seperti yang terjadi di daerah Magetan dan Kendal. Hal ini tidak relevan lagi dengan penelitian yang dilakukan oleh Institut Penelitian Sosial dan Ekonomi Inggris bagi organisasi Varkey Foundation yang mengatakan bahwa meski guru Indonesia bergaji rendah, tetapi dihormati. Hal ini menjadi sangat kontra dan harus segera dibenahi. Tidak hanya masalah akhlak pelajar, tapi juga dunia pendidikan masih punya tugas besar dalam pemerataan pendidikan bagi semua kalangan, oleh sebab itu saya pun tergabung dalam organisasi Generasi Emas Nusantara yang salah satu programnya adalah jaringan dedikasi yaitu Mahasiswa/I Dosen dan para profesional berkontribusi mengajar di Panti Asuhan, Sekolah Berkebutuhan Khusus, Sekolah Formal dan Non Formal yang terletak di JABODETABEK. Teringat satu kutipan yang disampaikan oleh Penggagas Gerakan Indonesia Mengajar, Bapak Anies Baswedan, beliau mengatakan: “Orang yang tidak terdidik di negeri ini adalah dosa dari orang-orang yang terdidik.” Dengan urgensi ini, maka apapun background pendidikan kita, maka kita wajib membagikan ilmunya, karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan mengeyam pendidikan yang sama.




Share:

Kamis, 10 Mei 2018

Ngampus Tanpa Musuh

source: google


Kehidupan kampus memang selalu menarik untuk dibahas. Bukan hanya dari segi ketenaran kampus dan segala prestasi dan fasilitasnya saja. Tapi juga tentang interaksi mahasiswa di dalamnya. Saat kita memutuskan untuk memasuki gerbang pendidikan yang lebih tinggi, maka saat itu pula kita harus siap dengan segala perubahan yang akan kita hadapi. Mulai dari meningkatnya kapasitas ilmu, pendewasaan diri, perbaikan sikap, dan juga bertambahnya relasi baru. Berbicara mengenai relasi atau yang lebih mudahnya kita sebut sebagai kenalan atau teman, setiap individu punya cerita masing-masing atas setiap kuantitas dan kualitas relasi yang mereka bangun.

Dalam menjalani kehidupan kampus, pada umumnya teman terdekat adalah mereka yang berada di kelas yang sama dengan kita, Kita akan bertemu mereka dalam setiap jadwal mata kuliah yang telah ditetapkan. Berinteraksi dalam berbagai macam hal, mulai dari membicarakan tugas kampus diskusi saat mata kuliah, kegiatan di luar kampus, pekerjaan, dosen kece, dosen gak asik, atau paling sederhananya ngomongin gebetan baru. Tentu saja masih banyak hal yang bisa jadi topik pembicaraan para mahasiswa, bahkan sampai ke masalah pribadi sekalipun.

Untuk topik tertentu seperti menceritakan masalah pribadi, pastinya gak semua anak dalam satu kelas punya kesempatan untuk tahu mengenai hal itu. Dibutuhka kedekatan personal yang cukup untuk menimbulkan rasa percaya kepada seseorang untuk berbagi hal yang tergolong privasi buat kita. Kedekatan personal itu tidak bisa didapatkan secara instan, diperlukan waktu yang lama dan interaksi yang cukup sering untuk mendapatkan suatu ucapan: "Gue percaya sama lo." Hal yang seperti ini bisa dibangun mulai dari hal yang sangat sederhana, contohnya: Memang udah kenal sebelum masuk kampus, orang pertama yang dikenal pas di kampus, teman pulang bareng, satu tempat kerja, sering ngumpul bareng, duduk sebelahan pas di kelas, punya kepribadian yang mirip, dan lain sebagainya.

Nah, dalam hal tumbuhnya kedekatan ini tidaklah mungkin satu orang bisa dekat dengan semua anak yang berada di dalam kelas tersebut, biasanya untuk teman yang sangat dekat tidak lebih dari sepuluh orang saja. Mereka berteman dengan semuanya, hanya saja mereka punya kedekatan yang lebih dengan beberapa orang yang disebabkan oleh faktor-faktor yang telah disebutkan di atas. Akan tetapi, kedekatan yang mereka bangun memberikan sudut pandang tersendiri bagi mereka yag bukan tergolong orang yang memiliki kedekatan lebih. Untuk mereka yang misalnya sangat dekat dengan lima orang saja, maka bila terlalu asik dengan dunia mereka sendiri, seakan-akan mereka menutup diri dengan yang lain, seperti membentuk kubu. Untuk mereka yang berada di luar kubu tersebut, seringkali mereka merasa terasingkan dari pembicaraan yang mereka lakukan.

Hal yang lebih riskan yang sering terjadi adalah akan timbul opini bahwa mereka tidak mau berteman diluar kubu mereka tersebut, hanya berkumpul dengan beberapa kesamaan saja, misal mereka yang aktif atau pintar di kelas, dan yang lebih parahnya, timbul pula gelar musuh yang diakibatkan oleh persaingan dalam beberapa persoalan. Hal seperti ini sangatlah berbahaya apabila terjadi tanpa adanya pengertian satu sama lain, hanya mengembangkan dugaan-dugaan yang tak pernah menemukan titik terang. Suasana kelas sudah tidak terasa kondusif lagi bagi beberapa orang, mereka tidak bisa menikmati keindahan berteman, datang ke kampus hanya untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu atau penggugur kewajiban atas kehadiran di kampus, teman bukanlah kebutuhan, seperti ada yang syukur, gak ada juga tak masalah.

Untuk persoalan seperti ini ada baiknya masing-masing setiap individu menanamkan sifat berbaik sangka kepada setiap temannya, dan mencoba untuk mengenali bagaimana sifat individu tersebut sebelum pada akhirnya memutuskan untuk menilai, karena setiap orang tentunya memiliki kepribadian yang berbeda, bahkan hal ini membutuhkan waktu cukup lama untuk benar-benar dipahami. Jadi, hal pertama yang harus ditekankan adalah: jangan terlalu cepat menilai seseorang itu baik atau buruk. Salah satu khalifah umat Islam yaitu Khalifah Umar Bin Khaththab ra berkata: "Janganlah kamu menilai seseorang itu baik sebelum kamu berpergian dengannya, bermuamalah dengannya, dan memberinya amanah."

Masalah atau kesalahpahaman dalam suatu hubungan sudah lumrah terjadi, bahkan hampir tak bisa dihindari. Kembali lagi bagaimana cara kita mengatasinya dan menempatkan berbaik sangka di atas segalanya, mengklarifikasi kepada orang yang bersangkutan secara langsung, bukan dengan orang di luar masalah tersebut yang bahkan tidak tahu apa-apa, bisa jadi dilebihkan atau dikurangkan. Membuat permasalahan tidak menemukan titik solusi terbaiknya. Ada kalanya juga kita menahan ego masing-masing, demi mengembalikan hubungan menjadi baik kembali, meminta maaf, mengalah bukan berarti kalah.

Pahami bagaimana diri kita sebelum kita memahami orang lain, karena itu akan memudahkan kita untuk memberikan respon atas setiap permasalahan yang ada. Ini adalah tentang bagaimana kita membawa diri dalam lingkungan yang cukup luas, bersosialisasi adalah salah satu kebutuhan manusia. Seringkali kebertahanan kita dengan dunia yang kita miliki atau mengatasnamakan sifat yang ada sebagai alasan untuk tidak membuka diri kepada orang lain. Interaksi yang baik tercipta karena aktifnya kedua belah pihak. Bukan hanya satu. Kita tidak bisa menuntut orang lain untuk menuruti apa mau kita, tapi bisa dikomunikasikan dan membuat kesepakatan. Bagaimanakah hubungan pertemanan ini akan berjalan.



Share:

Minggu, 19 November 2017

Inilah Teladan Sang Keajaiban Zaman



Seorang manusia, terlebih seorang muslim harus senantiasa meningkatkan kualitas dirinya. Karena, baiknya kualitas seorang pribadi akan mempunyai dampak bagi lingkungan di sekitarnya. Tidak hanya aspek ruhiyah saja, akan tetapi juga aspek aqliyah nya. Meningkatkan kualitas aqliyah (pikiran) dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan membaca. Orang bijak berkata bahwa “Kita adalah apa yang kita baca.” Hal itu menandakan bahwa apa yang kita baca sangat mempengaruhi bagaimana diri kita akan terbentuk kelak. Sebagai seorang pemuda muslim, ada baiknya jika kita meniru jejak-jejak pemuda islam yang sangat gemilang dalam usia mudanya, sudah banyak kisah-kisah mereka yang dituangkan ke dalam buku oleh penulis-penulis hebat dengan gaya penulisan yang mudah dimengerti oleh generasi saat ini. Salah satu contohnya adalah buku berjudul Api Tauhid karya Habiburrahman El-Shirazy.

Di dalam buku ini, tertuang sebuah perjalanan menuntut ilmu dan dakwah seorang ulama besar yang berasal dari Turki, beliau bernama Badiuzzaman Said Nursi dengan kitab nya yang begitu fenomenal: Risalah An-Nur. Kehausannya akan ilmu telah membawa nya menapaki berbagai macam tempat di belahan dunia diusia yang sangat muda. Berpuluh-puluh kitab yang-sudah-dihafalnya-di luar kepala dalam waktu yang singkat membuktikan bahwa beliau memiliki kecerdasan yang sungguh luar biasa. Tak heran, dalam usia yang masih dalam hitungan belasan keluasan ilmunya telah menyamai orang-orang dewasa pada zaman itu. Meski demikian, jubah para ulama yang ditawarkan kepada nya pun ia tolak dengan alasan: Ilmunya belum seberapa.

Tak sedikit orang-orang yang menguji kecerdasannya, dan mereka berasal dari kalangan intelektual bahkan dari kalangan yang memiliki jabatan penting pada pemerintahan Turki saat itu. Debat ilmiah pun bukan hal yang asing lagi baginya, kemenangan yang selalu ia raih terkadang membuat lawannya geram hingga memilih jalur kekerasan. Suatu ketika, Said Nursi berjalan sendirian dalam suatu malam, tiba-tiba ia dikeroyok oleh sekelompok pemuda hingga babak belur dan nyaris celaka apabila tidak ditolong oleh penduduk saat itu. Sungguh mulia akhlak Said Nursi, saat kawanan itu ditangkap polisi dan dipenjara, justru ia meminta untuk mereka dibebaskan, karena sekelompok pemuda itu adalah ahli ilmu, dan ia ingin menjaga harga diri para pemilik ilmu.

Kejadian demi kejadian luar biasa telah berlalu. Sampai suatu ketika Said Nursi terhenyak ketika membaca sebuah koran yang berisikan perkataan Perdana Menteri Inggris William Ewart Gladstone kepada media Inggris: “Selama kaum muslim memiliki Al-Qur’an, kita tidak akan bisa menundukkan mereka. Kita harus mengambilnya dari mereka, menjauhkan mereka dari Al Qur’an, atau mereka kehilangan rasa cinta terhadap Al Qur’an.” Mendengar hal itu, Said Nursi geram dan tak akan membiarkan siapa pun memadamkan cahaya Al Qur’an. Beliau berinisitif untuk mendirikan banyak madrasah di berbagai daerah Turki. Keberanian yang dimilikinya sungguh tak perlu diragukan lagi. Demi tujuannnya itu, Said Nursi bertekad menemui Sultan yang pada saat itu tidak sembarang orang bisa menemuinya. Said Nursi yang begitu kritis dengan kebijakan pemerintah saat itu yang mencoba memperbanyak pendidikan umum sekuler dan membabat madrasah. Karena keinginannya itu, Said Nursi sering disebut sebagai orang gila yang membuat dirinya di bawa ke rumah sakit jiwa. Pada saat itu, kecerdasan Said Nursi kembali teruji dengan kemampuannya dalam menghafal, buku ilmu kedokteran tingkat lanjut pun ia baca, tiga halaman berlalu, Said Nursi mampu menghafalnya tanpa salah satu kata pun. Ilmu nya yang begitu luas, yang tak hanya meliputi ilmu syar’I, tetapi juga ilmu modern yang berkembang pada saat itu.

Sungguh tidaklah cukup membahas sosok seseorang yang luar biasa hanya dalam tujuh ratus lima puluh kata, akan tetapi, dari gambaran singkat ini setidaknya membuat kita belajar banyak hal, tentang begitu dahsyatnya peran membaca dalam kehidupan yang bisa membuka wawasan seseorang lalu terjelma dalam kebermanfaatan yang berkelanjutan bagi agama dan bangsa. Al Qur’an yang telah melekat pada diri Said Nursi menuntunnya dalam menentukan sikap akan suatu hal, meski pun hal itu terkadang membawanya pada situasi-situasi sulit. Cerita perjalanan dakwah yang selalu disikapi dengan cinta dan keluhuran akhlak membawanya kepada sepakatnya manusia bahwa Islam adalah kedamaian, yang menentramkan setiap hati yang berada di dalamnya. Kesuksesan yang diraih Said Nursi tidak mustahil kembali terulang pada zaman saat ini, jika mereka mau mengikuti jejaknya.

Satu yang perlu diwaspadai oleh generasi milenial,  bahwa musuh-musuh Islam saat ini tidak hadir dalam rombongan berkuda dan berpedang seperti zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alayhi Wasallam dahulu, yang perlu tenaga bahkan mengorbankan nyawa dalam menghadapinya. Musuh Islam saat ini hadir tidak memerangi fisik para muslim, tapi memerangi pemikirannya, dan menjauhkannya dari Al Qur’an. Generasi milenial, yang di mana teknologi bukanlah hal yang asing baginya, seyogyanya bisa dimanfaatkan sebagai senjata dakwah untuk menyebarkan kebenaran Islam, bukan sebaliknya, menjadi sesuatu yang melalaikan: yang mempermudah musuh Islam untuk menggantikan posisi Al Quran di hati para pemuda Islam.

           
DAFTAR PUSTAKA
El Shirazy, Habiburrahman. 2014. Api Tauhid. Jakarta: Republika



Share:

Sabtu, 15 Juli 2017

Ketidaksempurnaan yang Menyempurnakan

Waktu bergulir begitu cepat, hingga ku lupa sudah berapa lama kita tumbuh bersama. Bila orang berkata setiap pertemuan akan ada perpisahan, maka aku memilih tak mengingat kapan pertama kali kita bersua, kan ku biarkan kenangan-kenangan itu terajut tanpa batas waktu yang akan menghentikannya. Indah atau tidaknya aku tak peduli, selama di sisimu, aku selalu merasa berarti.

Kita, dua insan yang berbeda, tapi tak pernah menuntut tuk menjadi sama. Cukuplah mengerti bahwa kau hebat dengan hebatmu, lemah dengan lemahmu, dan aku pun begitu. Belajar adalah cara kita untuk bisa bertransformasi menjadi suatu titik positif yang menjadi kelebihan masing-masing diri, tak pernah ada skenario menjatuhkan, atau berpura-pura baik tapi menusuk dari belakang.

Kamu, menambahkan sebuah arti kehidupan, yang ku tahu hanya ada keindahan dan bahagia yang berkelanjutan. Bukan tak ada duka dan tangis yang mengiringi, tapi ku maknai itu untuk meyakinkan diri bahwa kita adalah pejuang sejati. Bertahan pada setiap keadaan, tanpa meninggalkan, selalu mengulurkan tangan, mengajak bangkit meski perlahan.

Begitu banyak peran yang kau mainkan hanya demi seorang aku. Menjadi adik, sahabat, kritikus, pendengar, guru, motivator, perencana, pengingat waktu, penulis, dan tiba-tiba menjadi seorang yang begitu puitis. Banyak kisah yang telah kau jabarkan, yang mungkin tak sembarang orang dapat tahu bagaimana kamu bisa bertahan, meski jatuh tapi kau buktikan bahwa itu bukanlah kekalahan.

Berulang kali aku katakan kepadamu bahwa aku bukanlah seorang yang sempurna, yang hidupnya tanpa cacat dan cela. Tak jarang aku menunduk, menangis saat mendapati diriku belum layak untuk disebut sebagai teladan bagimu. Tapi, tanpa kau sadari kau menuntunku untuk perlahan memperbaiki diri, dari hal kecil yang mungkin sering aku abaikan selama ini.

Saat kau utarakan mimpimu, maka seketika aku bersiap untuk menjadikan itu bagian dari mimpiku juga. Karena aku memaknai sebuah kesuksesan bukan hanya tentang diriku sendiri. Ku ingat sebuah kalimat motivasi: "Jika engkau ingin berjalan cepat, maka berjalanlah sendiri. Jika engkau ingin berjalan jauh, maka berjalanlah bersama." dan aku, ingin mimpi kita menyatu tuk kita perjuangkan bersama, menapaki setiap jengkal dunia. Memberi manfaat pada khalayak, juga membela agama Allah. Aku ingin mimpi kita menyatu, sebagai sarana tuk meraih tempat terindah yang bernama surga. Bertemu dengan Rabb semesta.

Perihal mencari ilmu, tak ku ragu, bahwa kau adalah pencari ilmu sejati, meski ku katakan kembali, kita saling melengkapi. Setiap tempat ilmu yang kita datangi, kau menjadi seorang pengabadi moment dalam gambar, dan aku menjadi penulis atas setiap ilmu yang tercurahkan. Kombinasi yang apik antara aku dan kamu, tak lengkap jika salah satunya tak ada. Kita berjalan beriringan, dengan minat dan bakat yang telah mengalir dalam darah, tak pernah memaksa tuk jadi sama, tapi selalu belajar tuk saling bisa.

Bahagia kita itu sederhana, hanya dengan ketika menang kuis bikin puisi, ketika dapat kursi strategis di acara keren, ketika dapat bertemu dengan orang-orang penting, ketika berhasil bikin puding yang dicampur-campur rasanya, ketika berhasil mengoleskan bedak satu mangkok ke muka saat kalah main games, ketika dapat diskon ojek atau mobil online, ketika melihat foto masa kecil yang memalukan, ketika berhasil membujuk salah satu di antara kita tuk habiskan nasi goreng karena kekenyangan, ketika ada orang yang seperti berasal dari pedalaman bilang itu bahasa arab tapi kita ga ngerti, ketika ada busway yang nyasar masuk gang sempit di tempat rekreasi, dan masih banyak hal lain, yang mungkin bila diceritakan, satu hari pun tak cukup.

Teruntuk atas setiap hadiah di berkurangnya umurku, aku ucapkan terima kasih. Tak hanya untukmu, tapi juga untuk dua orang power ranger hebat yang andil dalam mempersiapkan itu. Sungguh, aku bahagia, sampai tak punya cara bagaimana untuk mengungkapkannya agar persis seperti apa yang aku rasakan. Setiap langkah kecil darimu, mencipta keyakinan besar padaku. Jika telah ku genggam apa yang aku impikan, ku katakan pada dunia bahwa kau adalah salah seorang yang berperan besar tuk mewujudkannya. Tanpa mu, aku mungkin bukan butiran debu, tetap manusia, tapi yang tak sempurna bahagianya.

Satu paragraf terakhir untuk dua power rangerku, yang selalu ada di saat aku di atas maupun titik terbawah dalam hidupku. Menjadi manusia yang bisa berubah sesuai situasi yang dibutuhkan. Kalian juga tak sempurna, tapi lagi-lagi, kalian menyempurnakanku. Kita hidup bersama dalam sarang, tempat di mana kita tumbuh dan berkembang, berjuang, bertukar pikiran, merencanakan strategi kehidupan, mengutarakan kritik dan saran, bertahan pada komitmen di saat yang lain mulai meninggalkan, dan tak luput candaan sebagai penghibur keadaan.

Terima Kasih untuk semua hal luar biasa yang kalian berikan, tak kan bisa ku balas semuanya dengan dunia, hanya doa yang terpanjat tuk kita kembali bersua di jannah-Nya sana.

Salam,
Dwihanda Firdaus

Share:

Selasa, 06 Juni 2017

Kesadaran Yang Mengubah

Bismillah, this story based on my experience. InsyaAllah, useful for you that will/facing exams.

Cerita ini berawal ketika saya kelas tiga SMP, waktu itu lagi masa-masa pedalaman materi untuk menghadapi ujian nasional. Di jadwal, tertera kalo kami para siswa tingkat akhir akan menghadapi lima kali tryout ujian nasional. Awalnya, para siswa di kelompokkan berdasarkan nilai, (ada kelas A-E). Setelah pedalaman materi beberapa kali dalam sebulan yang diadakan sepulang sekolah, tryout pertama pun digelar, selang satu minggu akhirnya hasil tryout itu keluar.


Betapa kagetnya saya, ketika itu saya dapat nilai matematika 4,5. Pada saat itu, di dalam hati saya berkata: "Ini kan tryout, soal UN pasti gak jauh modelnya kayak begini, masa dapet 4,5 sih? Nanti UN nya gimana? Gak bisa dibiarin nih..."


Setelah semua nilai tryout kesatu keluar, ada empat mata pelajaran: Math, English, Bahasa, Science. Saya lihat nilainya, saya urutkan dari yang tertinggi sampai terendah, dan saya mendapatkan urutan: Bahasa-English-Science-Math. Dari situ saya sadar, bahwa kelemahan utama saya adalah di matematika.


Dari situ, saya mulai menyusun strategi untuk belajar lagi, terutama untuk dongkrak nilai math saya yang gak karuan itu. Di tengah aktivitas yang padat, dan banyak yang harus dipelajari, saya coba mengatur strategi agar bisa dapatkan hasil terbaik nanti. Ya, dari total jam belajar saya, saya mencoba membagi berdasarkan kemampuan saya, misal: jika saya punya waktu tiga jam belajar maka saya bagi untuk: Bahasa 30 menit, English 30 menit, Science 45 menit, dan Math 1,15 jam.


Jadi, pada waktu itu saya gak habisin semua waktu saya buat pelajarin semuanya, tapi saya fokuskan pada kelemahan saya, dan kekurangan-kekurangan lain. Ini berguna banget, jadi untuk mata pelajaran yang sekiranya udah lumayan bisa, sedikit aja jam belajarnya. Dengan strategi ini, saya berpikir bahwa: Kalo emang gak bisa bagus banget, paling ngga hasilnya insyaAllah seimbang semuanya, gak ada yang jomplang jelek. Karena kan udah lebihin waktu buat yang kurang, dan konsisten sama yang udah bagus.


Belajar dari kesalahan. Ya, strategi saya selanjutnya adalah belajar dari setiap soal yang saya ga bisa/susah. Jadi pas tryout saya suka tandain soalnya, atau tulis di note model soal kaya gimana, bagian mana yang ga bisa. Setelah ujian selesai, biasanya saya buka buku, nyari model soalnya, terus tanya ke guru atau teman yang bisa. Dari situ manfaatnya banyak, kalo dari guru saya dapet cara instan tapi ga nyalahin aturan, (saya emang type orang yang suka bikin cara sendiri hehe, ga struktural gitu)


Nah, pada tryout selanjutnya jadi saya udah tau gimana cara ngerjainnya. Terus, saya juga lebih suka ngerjain banyak model soal dari pada harus ngafal rumus, banyak kasus orang yang ngafal rumus, pas model soalnya dirubah dikit, eh blank. Akhirnya ga bisa jawab. Dari belajar model soal, ini kayak kita memahami gimana cari solusi dengan cepat,  jadi kalau liat soal begini, udah tau gimana jawabnya. Lebih efisien daripada ngafal rumus. Silahkan pelajari rumus, karena itu ibarat foundation nya (dasar). Tapi jangan terlalu banyak buang waktu di sana. Karena soal juga sering berubah, yang kadang membuat rumus/posisi rumus berubah.


Kan biasanya kalo buku UN ada paket-paketnya ya? Nah itu dikerjain, nanti bakal ketemu sama berbagai macam level soal, dari yang tingkat kesulitannya rendah, sedang, sampai tinggi.


Setelah tryout selanjutnya diadakan dan hasilnya keluar, ternyata ada peningkatan di nilai math saya (walaupun waktu itu cuma naik satu jadi 5,5) tapi tetap aja itu progress kan? Hehe. Saya pernah dikasih tau, kalo progress itu lebih baik yang meningkat bertahap daripada langsung curam naik, katanya pasti ada yang salah kalau begitu.


Singkat cerita, nilai tryout math kelima saya itu 7,5. Setelah itu UN kan, pas UN dan ngeliat soalnya agak kaget sih, di dalam hati ngomong begini: "Gue udah belajar sampai level yang sulit eh yang keluar beginian. .." (Btw, ini bukan berarti penyesalan karena udah belajar banyak tapi yang keluar mudah, di sini titik sangat bersyukur, kaget yang asik. Daripada belajar yang mudah tapi dapat yang susah, nah lho?)


Ingat sekali waktu itu saya ga bisa kerjain dua nomor, tentang bangun campuran hehe. Alhamdulillah, waktu itu kertas coretannya sempat saya tunjukkan ke guru matematika, selain biar bantu koreksi cepet (kan biasanya kepo tuh sama nilai hehe, kan nilai resminya lama) sebagai bukti juga kalo ngerjainnya only by my self, karena waktu itu banyak kecurangan.


Biidznillah, hasil tak pernah mengkhianati proses. Alhamdulillah, setelah dapat hasil resminya. Nilai ujian nasional matematika saya 9,5. Waktu itu ga percaya, sempat speechless beberapa menit di depan komputer. Kayak ngimpi. Kini, pelajaran yang nilainya dulu terbawah, telah menempati urutan paling atas di daftar nilai ujian saya. Alhamdulillah.


Begitu pentingnya menyadari kemampuan diri, karena dari sanalah kita paham bagaimana menata kemampuan, meningkatkan kekurangan, mempertahankan kelebihan, dan juga hal apa yang ingin kita fokuskan untuk menjadi keahlian kita. Dan ini bukan hal sepele, karena sangat berhubungan dengan masa depan kita kelak.


Semoga bermanfaat ya sobat, sekiranya jika ini bermanfaat, silahkan di share. Agar makin banyak teman-teman yang lain yang tau pentingnya menyadari kemampuan yang dimiliki. Jika menemukan kekurangan, mohon dimaafkan, kritik dan saran sangat terbuka untuk disampaikan.


Selamat berjuang, 

Jakarta, 06 Juni 2017.
@dwihandafirdaus
Share:

Kamis, 16 Maret 2017

Lika-Liku Berbakti



Siang itu nampak berbeda dari biasanya, rasanya matahari kian menyayangi bumi, suhu mendekati normal untuk wilayah Jakarta, tidak terlalu panas, tidak juga dingin. Jauh berbeda dengan kondisi hati Zahra saat ini, bak dirundung awan mendung, jika melihat raut wajahnya, pantas saja matahari enggan datang. Dia terpaku pada salah satu bangku halaman sekolah, tersisa dia sendiri, anak-anak lain telah berhamburan pulang menuju rumah dari satu jam yang lalu.

Zahra diliputi kebimbangan atas keputusan yang harus diambilnya segera. Saat ini Zahra kelas tiga Sekolah Menengah Pertama. Pikiran Zahra tak karuan, ditambah lagi dengan degup-degup jantung yang berdetak lebih cepat karena menanti pengumuman kelulusan.

Zahra termasuk anak yang pintar di kelasnya, bahkan dari semua murid, dia lah yang terbaik. Menjadi juara satu paralel ternyata tak membuat hatinya tenang dengan nilai ujian nasional nanti. Entah, kebiasaan buruk ini kapan akan menghilang. Ketidakjujuran. Teman-teman Zahra membeli kunci jawaban, dan yang ia tahu, kunci jawaban itu cocok dengan soal yang diujikan beberapa Minggu yang lalu. Berita sukses nya ujian mereka berkat kunci jawaban sudah menyebar kemana-mana, tak terkecuali, guru.

Zahra berpegang teguh pada pendiriannya untuk tidak mencontek, semua soal ujiannya dia kerjakan dengan kemampuannya sendiri. Dalam hatinya berkata: "Aku gak boleh mengkhianati orangtuaku dengan nilai palsu hasil ketidakjujuran, dan paling penting adalah Allah gak suka, Allah ngeliat aku, mereka mungkin bisa membohongi semua orang, tapi tidak dengan Tuhan Seluruh Alam."

Waktu merangkak sore, tak ada yang berubah dengan isi kepala Zahra, masih dengan keputusan yang harus dia ambil, dan tentang nilai ujian. Karena tak ingin pulang kemalaman, Zahra bangkit perlahan dan berjalan pulang menuju rumah. Di sepanjang jalan terus terngiang pesan ibunya, bahwa ketika lulus nanti, Zahra harus masuk Sekolah Menengah Kejuruan. Dengan harapan ketika lulus SMK, dia bisa langsung bekerja dan membantu ekonomi keluarga yang saat ini hanya dipikul oleh Ibunya seorang diri. Ayah Zahra telah menghadap Allah saat dia kelas satu SMP.

Hal ini sangat berbeda dengan keinginan hati Zahra. Dia ingin masuk SMA, agar bisa kuliah. Pemahaman orang-orang saat ini adalah SMA untuk kuliah, SMK untuk bekerja. Dengan kondisi ekonomi yang 'payah' seperti ini, Ibu Zahra berkata bahwa dia tak mampu jika harus membiayai kuliahnya anaknya itu. Meskipun Zahra telah berulang kali menjelaskan bahwa akan ada banyak beasiswa yang bisa dia raih, tapi tetap saja, sekali tidak tetap tidak. Zahra tak kuasa untuk meneruskan penjelasannya, dan setiap dia berbicara dengan Ibunya, keinginan Zahra selalu kalah.

Hari yang dinanti-nanti akhirnya datang. Pengumuman kelulusan. Tak disangka, Zahra lulus dengan nilai rata-rata delapan koma tujuh, hal yang sangat disyukuri olehnya, karena Allah telah membantunya dan juga karena kerja kerasnya selama ini, terlebih untuk pelajaran matematika. Meski termasuk anak yang pintar, Zahra pernah mendapatkan nilai empat untuk tryout pertamanya. Tapi dia tidak menyerah. Zahra terus belajar hingga nilainya terus membaik dan menyentuh angka sembilan koma lima pada ujian nasional! Tak ada yang tak mungkin bagi Allah.

Singkat cerita, Zahra akhirnya mengikuti kemauan sang ibu untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Kejuruan. Hati Zahra belum ikhlas sepenuhnya. Tapi satu hal yang dia sadari, bahwa ridha Allah adalah ridha orangtua. Maka ia ambil keputusan itu. Zahra bukan termasuk anak yang pintar kali ini, karena memang dia merasa bahwa "Aku melakukan ini untuk ibu..." Zahra tertinggal oleh yang lain. Ditambah Zahra harus kembali mengalami pengkhianatan oleh teman-temannya yang terobsesi pada nilai di selembar kertas. Ah, Zahra makin terasa 'lemah'

Waktu demi waktu bergulir, walau tak sepintar yang lain, tapi Zahra termasuk anak yang aktif di sekolahnya. Organisasi sekolah dan berbagai macam kegiatan dia ikuti. Membuat mental Zahra semakin terasah, tak hanya itu, Zahra banyak mendapat teman baru, dan yang paling penting, Zahra mendapatkan pintu hijrah utamanya di sini. Teman dekat Zahra bisa dihitung pakai jari, selebihnya hanya teman bertegur sapa. Tidak akrab.

Berbagai macam problematika dia hadapi di sini, tapi itu semua membuatnya semakin dewasa. Zahra Mempunyai pola pikir yang sedikit lebih maju dari yang lain. Dalam soal mencari nilai, Zahra tetap pada prinsipnya, jujur! Zahra sadar bahwa dirinya tertinggal oleh yang lain. Tapi Zahra selalu berusaha untuk mengejar mereka, meski tak sejajar, setidaknya tak tertinggal lebih jauh. Seringkali kebisingan yang diciptakan oleh teman-temannya membuat Zahra harus keluar kelas lalu menyendiri di bangku pelataran. Sambil membaca buku atau belajar materi-materi yang belum dipahami bersama sahabatnya.

Sebab hati yang belum ikhlas, Zahra sedikit sulit untuk menguasai pelajaran yang menjadi jurusannya. Hingga tiba pada detik-detik ujian. Zahra dihinggapi rasa takut yang teramat sangat. Takut tidak bisa menjawab soal dan menyelesaikan rangkaian ujian kejuruannya. Tetap pada prinsip jujur, Zahra belajar dengan keras agar nilainya kan baik, dia ingin membahagiakan ibunya. Sahabat Zahra sangat membantu, tak pernah lelah mendampingi Zahra di setiap sisi senang dan sulit, tapi lebih banyak dalam sulit, sungguh dia sahabat yang tak ada duanya!

Waktu ujian kelulusan semakin dekat, intensitas belajar Zahra ditambah! Dia pernah tak tidur dua hari hanya untuk menyelesaikan soal-soal yang kan menjadi gambaran ujian kejuruannya itu. Sementara itu, saat yang lain juga sibuk menyiapkan ilmu untuk tes masuk kuliah, Zahra tidak melakukannya. Dia menyadari bahwa itu kan sia-sia. Karena ibu tidak merestuinya untuk kuliah, ibu ingin Zahra bekerja selepas lulus, sebab itulah, Zahra tak ikut belajar persiapan untuk kuliah seperti yang lain.

Hari-hari ujian itu tiba. Zahra kerjakan dengan mengerahkan segala kemampuan yang ia miliki, menyandarkan apapun hasilnya nanti pada Sang Ilahi. Setelah semua ujian selesai, tibalah saatnya pengumuman kelulusan dan nilai untuk semua ujian. Allah tak pernah dusta, Zahra lulus dan mendapatkan hasil yang tak pernah ia sangka. Sungguh hatinya berkata: "Ini berkat Tuhanku, tak ada kekuatan yang lebih besar dari Allah Azza wa Jalla. Aku hanya berusaha semaksimal mungkin...Allah tak mungkin membiarkan seorang hamba terpuruk sementara dia berada di jalan-Nya."

Wisuda dilaksanakan setelah beberapa Minggu dari pengumuman kelulusan. Zahra tak terlalu memperdulikannya. Karena Zahra harus menyewa baju kebaya untuk di pakai di hari bahagia itu. Zahra amat sadar bahwa ibunya tak memiliki uang. Dia tak pernah memaksa. Rasa ingin hadir pasti ada, tapi ia tepis jauh-jauh agar ibunya tak bersedih karena tak bisa menyewakan baju untuknya. Hari wisuda itu Zahra lewati dengan membantu ibunya. Sesekali dia melihat ponsel untuk mengetahui kabar mengenai wisuda hari ini. Semua teman-teman nampak berbeda dari biasanya, lebih tampan dan cantik. Mereka sangat bahagia. Zahra lalu tersenyum bersamaan dengan tetesan air mata yang jatuh tanpa terasa.

Zahra resmi menyandang gelar alumni. Fokusnya kini hanya satu, segera mendapatkan pekerjaan untuk meringankan beban ibunya. Kali ini Zahra kembali diuji, berbagai macam tempat dia datangi, ada pekerjaan di sana. Tapi Zahra tidak bisa mengambilnya. Karena pekerjaan itu akan membuat dia membangkang atas perintah Tuhannya. Iya, tentang Hijab. Zahra berhijab syar'i. Kerudungnya menutup dada. Maka tak bisa dia bergabung dengan perusahaan yang tak mengizinkan berhijab. Bak angin segar, ada perusahaan yang memperbolehkan dia pakai jilbab, tapi harus pakai celana. Lagi-lagi Zahra kecewa, karena Zahra tak terbiasa dengan itu.

Setengah tahun Zahra tidak bekerja, keadaan ekonomi keluarga semakin melemah. Zahra makin tidak enak hati. Dalam penantian atas sebuah pekerjaan, Zahra selalu berdoa agar Allah memberikan pekerjaan untuknya yang tak menghalangi jika memakai hijab syar'i. Beberapa bulan kemudian Zahra mendapat jawaban atas doanya. Dia mendapat pekerjaan, tak ada larangan dalam berpakaian, tapi sayangnya Zahra kembali harus pergi. Tempat kerjanya melakukan kecurangan, yang bisa membahayakan posisi Zahra sebagai yang paling bertanggung jawab atas hal itu, dan yang paling penting, Zahra tak ingin menanggung dosanya. Empat bulan di sana, Zahra mengundurkan diri.

Ibu Zahra menyesali tindakan yang Zahra lakukan, karena sang Ibu tahu, dengan berhentinya Zahra dari pekerjaannya, membuat keluarga mereka kembali kehilangan bantuan penghasilan. Zahra mencoba menjelaskan mesti hatinya begitu sedih, dia berusaha meyakini ibunya bahwa Allah kan mengganti dengan yang lebih baik. Zahra terus berusaha. Tapi belum jua dia temukan pekerjaan yang baru. Tanpa terasa ini tahun kedua kesempatan Zahra untuk ikut tes perguruan tinggi negeri, banyak di antara temannya yang bertanya: "Ra, tahun ini kamu ikut tes kan?" Sungguh pertanyaan macam itu semakin membuat hati Zahra sakit. Tapi dia balas dengan senyum dan berkata "In syaa Allah."

Jika Allah mengizinkan. Takdir dan pilihannya membawa Zahra meninggalkan kesempatan keduanya itu. Rasa ingin berkuliah di kampus negeri masih ada, tapi sungguh rasa bakti dan pencarian Ridha ibunya jauh melebihi segalanya. Zahra kembali bekerja. Kali ini sebagai pengajar murid di sebuah lembaga bimbingan belajar. Zahra bahagia, tak ada larangan apapun di sana. Justru teman-teman Zahra banyak yang seperti dirinya. Menjadi seorang guru memang cita-cita Zahra yang sesungguhnya. Karena dari ilmu, kebaikan kan terus mengalir meski dirinya telah tiada. Itu pemikiran Zahra. Cukup lama Zahra berada di sana.

Tak terasa waktu telah berpijak di tahun ketiga. Tahun terakhir bagi Zahra untuk bisa mengikuti tes kuliah. Dari jauh hari, Zahra telah memikirkan hal ini. Dia merenung dan berpikir. Dalam renungnya dia menangis, dua tahun di kubur dalam dalam, keinginan itu masih saja ada. Dia menarik nafas, berdoa untuk meminta yang terbaik kepada Allah. Keesokan harinya Zahra seperti mendapat jawaban. Zahra memutuskan untuk tidak berkuliah di kampus negeri. Dia memilih jalan lain. Kuliah sore menjadi pilihannya. Sehingga dia bisa berbakti kepada Ibunya, sekaligus mengejar mimpinya itu.

Hari ini Zahra telah ikhlas sepenuhnya untuk melepas keinginannya itu. Baginya, mimpinya tak pernah pupus. Hanya berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Zahra tersenyum, kali ini dia begitu yakin. Salah satu sebabnya adalah firman Allah dalam surat Al Baqarah, "...Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."

Benar saja, Zahra kembali ditanya apakah dia akan ikut tes terakhirnya tahun ini. Zahra tersenyum dan menjawab dengan hati yang mantap "Tidak." Teman Zahra menyambung, "Lho, kenapa gak jadi? dan inilah jawaban Zahra:

Bekerja adalah salah satu bakti saya kepada orangtua. Jika saya ambil negeri, berarti bakti saya berkurang selama 4 tahun, dan akan menyusahkan, dan saya gak pernah tau umur saya sampe mana...atau orangtua saya sampe mana umurnya. Bukankah sungguh menyesal seorang anak ketika orangtuanya masih hidup tapi ia tak dapatkan surga dari baktinya? Di dalam Al Qur'an, Allah menempatkan bakti kepada orangtua setelah menyembah Allah dan bersyukur kepada Allah... Jadi in syaa Allah ini kan jauh lebih baik dan in syaa Allah yang terbaik😊.

Share: