Kamis, 16 Maret 2017

Lika-Liku Berbakti



Siang itu nampak berbeda dari biasanya, rasanya matahari kian menyayangi bumi, suhu mendekati normal untuk wilayah Jakarta, tidak terlalu panas, tidak juga dingin. Jauh berbeda dengan kondisi hati Zahra saat ini, bak dirundung awan mendung, jika melihat raut wajahnya, pantas saja matahari enggan datang. Dia terpaku pada salah satu bangku halaman sekolah, tersisa dia sendiri, anak-anak lain telah berhamburan pulang menuju rumah dari satu jam yang lalu.

Zahra diliputi kebimbangan atas keputusan yang harus diambilnya segera. Saat ini Zahra kelas tiga Sekolah Menengah Pertama. Pikiran Zahra tak karuan, ditambah lagi dengan degup-degup jantung yang berdetak lebih cepat karena menanti pengumuman kelulusan.

Zahra termasuk anak yang pintar di kelasnya, bahkan dari semua murid, dia lah yang terbaik. Menjadi juara satu paralel ternyata tak membuat hatinya tenang dengan nilai ujian nasional nanti. Entah, kebiasaan buruk ini kapan akan menghilang. Ketidakjujuran. Teman-teman Zahra membeli kunci jawaban, dan yang ia tahu, kunci jawaban itu cocok dengan soal yang diujikan beberapa Minggu yang lalu. Berita sukses nya ujian mereka berkat kunci jawaban sudah menyebar kemana-mana, tak terkecuali, guru.

Zahra berpegang teguh pada pendiriannya untuk tidak mencontek, semua soal ujiannya dia kerjakan dengan kemampuannya sendiri. Dalam hatinya berkata: "Aku gak boleh mengkhianati orangtuaku dengan nilai palsu hasil ketidakjujuran, dan paling penting adalah Allah gak suka, Allah ngeliat aku, mereka mungkin bisa membohongi semua orang, tapi tidak dengan Tuhan Seluruh Alam."

Waktu merangkak sore, tak ada yang berubah dengan isi kepala Zahra, masih dengan keputusan yang harus dia ambil, dan tentang nilai ujian. Karena tak ingin pulang kemalaman, Zahra bangkit perlahan dan berjalan pulang menuju rumah. Di sepanjang jalan terus terngiang pesan ibunya, bahwa ketika lulus nanti, Zahra harus masuk Sekolah Menengah Kejuruan. Dengan harapan ketika lulus SMK, dia bisa langsung bekerja dan membantu ekonomi keluarga yang saat ini hanya dipikul oleh Ibunya seorang diri. Ayah Zahra telah menghadap Allah saat dia kelas satu SMP.

Hal ini sangat berbeda dengan keinginan hati Zahra. Dia ingin masuk SMA, agar bisa kuliah. Pemahaman orang-orang saat ini adalah SMA untuk kuliah, SMK untuk bekerja. Dengan kondisi ekonomi yang 'payah' seperti ini, Ibu Zahra berkata bahwa dia tak mampu jika harus membiayai kuliahnya anaknya itu. Meskipun Zahra telah berulang kali menjelaskan bahwa akan ada banyak beasiswa yang bisa dia raih, tapi tetap saja, sekali tidak tetap tidak. Zahra tak kuasa untuk meneruskan penjelasannya, dan setiap dia berbicara dengan Ibunya, keinginan Zahra selalu kalah.

Hari yang dinanti-nanti akhirnya datang. Pengumuman kelulusan. Tak disangka, Zahra lulus dengan nilai rata-rata delapan koma tujuh, hal yang sangat disyukuri olehnya, karena Allah telah membantunya dan juga karena kerja kerasnya selama ini, terlebih untuk pelajaran matematika. Meski termasuk anak yang pintar, Zahra pernah mendapatkan nilai empat untuk tryout pertamanya. Tapi dia tidak menyerah. Zahra terus belajar hingga nilainya terus membaik dan menyentuh angka sembilan koma lima pada ujian nasional! Tak ada yang tak mungkin bagi Allah.

Singkat cerita, Zahra akhirnya mengikuti kemauan sang ibu untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Kejuruan. Hati Zahra belum ikhlas sepenuhnya. Tapi satu hal yang dia sadari, bahwa ridha Allah adalah ridha orangtua. Maka ia ambil keputusan itu. Zahra bukan termasuk anak yang pintar kali ini, karena memang dia merasa bahwa "Aku melakukan ini untuk ibu..." Zahra tertinggal oleh yang lain. Ditambah Zahra harus kembali mengalami pengkhianatan oleh teman-temannya yang terobsesi pada nilai di selembar kertas. Ah, Zahra makin terasa 'lemah'

Waktu demi waktu bergulir, walau tak sepintar yang lain, tapi Zahra termasuk anak yang aktif di sekolahnya. Organisasi sekolah dan berbagai macam kegiatan dia ikuti. Membuat mental Zahra semakin terasah, tak hanya itu, Zahra banyak mendapat teman baru, dan yang paling penting, Zahra mendapatkan pintu hijrah utamanya di sini. Teman dekat Zahra bisa dihitung pakai jari, selebihnya hanya teman bertegur sapa. Tidak akrab.

Berbagai macam problematika dia hadapi di sini, tapi itu semua membuatnya semakin dewasa. Zahra Mempunyai pola pikir yang sedikit lebih maju dari yang lain. Dalam soal mencari nilai, Zahra tetap pada prinsipnya, jujur! Zahra sadar bahwa dirinya tertinggal oleh yang lain. Tapi Zahra selalu berusaha untuk mengejar mereka, meski tak sejajar, setidaknya tak tertinggal lebih jauh. Seringkali kebisingan yang diciptakan oleh teman-temannya membuat Zahra harus keluar kelas lalu menyendiri di bangku pelataran. Sambil membaca buku atau belajar materi-materi yang belum dipahami bersama sahabatnya.

Sebab hati yang belum ikhlas, Zahra sedikit sulit untuk menguasai pelajaran yang menjadi jurusannya. Hingga tiba pada detik-detik ujian. Zahra dihinggapi rasa takut yang teramat sangat. Takut tidak bisa menjawab soal dan menyelesaikan rangkaian ujian kejuruannya. Tetap pada prinsip jujur, Zahra belajar dengan keras agar nilainya kan baik, dia ingin membahagiakan ibunya. Sahabat Zahra sangat membantu, tak pernah lelah mendampingi Zahra di setiap sisi senang dan sulit, tapi lebih banyak dalam sulit, sungguh dia sahabat yang tak ada duanya!

Waktu ujian kelulusan semakin dekat, intensitas belajar Zahra ditambah! Dia pernah tak tidur dua hari hanya untuk menyelesaikan soal-soal yang kan menjadi gambaran ujian kejuruannya itu. Sementara itu, saat yang lain juga sibuk menyiapkan ilmu untuk tes masuk kuliah, Zahra tidak melakukannya. Dia menyadari bahwa itu kan sia-sia. Karena ibu tidak merestuinya untuk kuliah, ibu ingin Zahra bekerja selepas lulus, sebab itulah, Zahra tak ikut belajar persiapan untuk kuliah seperti yang lain.

Hari-hari ujian itu tiba. Zahra kerjakan dengan mengerahkan segala kemampuan yang ia miliki, menyandarkan apapun hasilnya nanti pada Sang Ilahi. Setelah semua ujian selesai, tibalah saatnya pengumuman kelulusan dan nilai untuk semua ujian. Allah tak pernah dusta, Zahra lulus dan mendapatkan hasil yang tak pernah ia sangka. Sungguh hatinya berkata: "Ini berkat Tuhanku, tak ada kekuatan yang lebih besar dari Allah Azza wa Jalla. Aku hanya berusaha semaksimal mungkin...Allah tak mungkin membiarkan seorang hamba terpuruk sementara dia berada di jalan-Nya."

Wisuda dilaksanakan setelah beberapa Minggu dari pengumuman kelulusan. Zahra tak terlalu memperdulikannya. Karena Zahra harus menyewa baju kebaya untuk di pakai di hari bahagia itu. Zahra amat sadar bahwa ibunya tak memiliki uang. Dia tak pernah memaksa. Rasa ingin hadir pasti ada, tapi ia tepis jauh-jauh agar ibunya tak bersedih karena tak bisa menyewakan baju untuknya. Hari wisuda itu Zahra lewati dengan membantu ibunya. Sesekali dia melihat ponsel untuk mengetahui kabar mengenai wisuda hari ini. Semua teman-teman nampak berbeda dari biasanya, lebih tampan dan cantik. Mereka sangat bahagia. Zahra lalu tersenyum bersamaan dengan tetesan air mata yang jatuh tanpa terasa.

Zahra resmi menyandang gelar alumni. Fokusnya kini hanya satu, segera mendapatkan pekerjaan untuk meringankan beban ibunya. Kali ini Zahra kembali diuji, berbagai macam tempat dia datangi, ada pekerjaan di sana. Tapi Zahra tidak bisa mengambilnya. Karena pekerjaan itu akan membuat dia membangkang atas perintah Tuhannya. Iya, tentang Hijab. Zahra berhijab syar'i. Kerudungnya menutup dada. Maka tak bisa dia bergabung dengan perusahaan yang tak mengizinkan berhijab. Bak angin segar, ada perusahaan yang memperbolehkan dia pakai jilbab, tapi harus pakai celana. Lagi-lagi Zahra kecewa, karena Zahra tak terbiasa dengan itu.

Setengah tahun Zahra tidak bekerja, keadaan ekonomi keluarga semakin melemah. Zahra makin tidak enak hati. Dalam penantian atas sebuah pekerjaan, Zahra selalu berdoa agar Allah memberikan pekerjaan untuknya yang tak menghalangi jika memakai hijab syar'i. Beberapa bulan kemudian Zahra mendapat jawaban atas doanya. Dia mendapat pekerjaan, tak ada larangan dalam berpakaian, tapi sayangnya Zahra kembali harus pergi. Tempat kerjanya melakukan kecurangan, yang bisa membahayakan posisi Zahra sebagai yang paling bertanggung jawab atas hal itu, dan yang paling penting, Zahra tak ingin menanggung dosanya. Empat bulan di sana, Zahra mengundurkan diri.

Ibu Zahra menyesali tindakan yang Zahra lakukan, karena sang Ibu tahu, dengan berhentinya Zahra dari pekerjaannya, membuat keluarga mereka kembali kehilangan bantuan penghasilan. Zahra mencoba menjelaskan mesti hatinya begitu sedih, dia berusaha meyakini ibunya bahwa Allah kan mengganti dengan yang lebih baik. Zahra terus berusaha. Tapi belum jua dia temukan pekerjaan yang baru. Tanpa terasa ini tahun kedua kesempatan Zahra untuk ikut tes perguruan tinggi negeri, banyak di antara temannya yang bertanya: "Ra, tahun ini kamu ikut tes kan?" Sungguh pertanyaan macam itu semakin membuat hati Zahra sakit. Tapi dia balas dengan senyum dan berkata "In syaa Allah."

Jika Allah mengizinkan. Takdir dan pilihannya membawa Zahra meninggalkan kesempatan keduanya itu. Rasa ingin berkuliah di kampus negeri masih ada, tapi sungguh rasa bakti dan pencarian Ridha ibunya jauh melebihi segalanya. Zahra kembali bekerja. Kali ini sebagai pengajar murid di sebuah lembaga bimbingan belajar. Zahra bahagia, tak ada larangan apapun di sana. Justru teman-teman Zahra banyak yang seperti dirinya. Menjadi seorang guru memang cita-cita Zahra yang sesungguhnya. Karena dari ilmu, kebaikan kan terus mengalir meski dirinya telah tiada. Itu pemikiran Zahra. Cukup lama Zahra berada di sana.

Tak terasa waktu telah berpijak di tahun ketiga. Tahun terakhir bagi Zahra untuk bisa mengikuti tes kuliah. Dari jauh hari, Zahra telah memikirkan hal ini. Dia merenung dan berpikir. Dalam renungnya dia menangis, dua tahun di kubur dalam dalam, keinginan itu masih saja ada. Dia menarik nafas, berdoa untuk meminta yang terbaik kepada Allah. Keesokan harinya Zahra seperti mendapat jawaban. Zahra memutuskan untuk tidak berkuliah di kampus negeri. Dia memilih jalan lain. Kuliah sore menjadi pilihannya. Sehingga dia bisa berbakti kepada Ibunya, sekaligus mengejar mimpinya itu.

Hari ini Zahra telah ikhlas sepenuhnya untuk melepas keinginannya itu. Baginya, mimpinya tak pernah pupus. Hanya berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Zahra tersenyum, kali ini dia begitu yakin. Salah satu sebabnya adalah firman Allah dalam surat Al Baqarah, "...Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."

Benar saja, Zahra kembali ditanya apakah dia akan ikut tes terakhirnya tahun ini. Zahra tersenyum dan menjawab dengan hati yang mantap "Tidak." Teman Zahra menyambung, "Lho, kenapa gak jadi? dan inilah jawaban Zahra:

Bekerja adalah salah satu bakti saya kepada orangtua. Jika saya ambil negeri, berarti bakti saya berkurang selama 4 tahun, dan akan menyusahkan, dan saya gak pernah tau umur saya sampe mana...atau orangtua saya sampe mana umurnya. Bukankah sungguh menyesal seorang anak ketika orangtuanya masih hidup tapi ia tak dapatkan surga dari baktinya? Di dalam Al Qur'an, Allah menempatkan bakti kepada orangtua setelah menyembah Allah dan bersyukur kepada Allah... Jadi in syaa Allah ini kan jauh lebih baik dan in syaa Allah yang terbaik😊.

Share:

Rabu, 15 Maret 2017

Sepintas Saja

Melupakan,
Eratkah ia dengan pergi?
Mengingat,
Takutkah ia dengan hilang?

Rindu menggali memori
Kenangan mengawang lagi
Tercipta pintasan kilat
Pertanda figur berkata singkat

Mimpi tentang gerbang suci
Kini nyata tuk dipijaki
Pemilik langit yang tak dusta
Bagi yang tertatih dalam juangnya

Air mata tak terdefinisi
Berlawan pada senyum
Atau berkawan pada hati
Kini, ia pandai menipu diri

Benarlah doa senjata utama
Baginya yang selalu percaya
Tak pernah membeda insan
Pendosa ikut ambil bagian

Bom waktu terpasang
Bukan untuk menghancurkan
Hanya untuk beri kabar
Kapan harus ucap selamat jalan

Dhf, 15317. 22.58.
Share: