Minggu, 31 Januari 2016

Semua Akan Cie Cie Pada Waktunya

Ust. Hasan Al Jaizy

Dari sekian majelis yang pernah saya belajar di dalamnya, saya melihat perempuan lebih rajin mencatat. Kebalikan dari laki-laki. Malas mencatat. Tapi tidak jarang saya dapatkan laki-laki malah lebih bagus jawabannya dibandingkan perempuan, padahal tidak mencatat. Apa yang bisa dipelajari dari sini? Yang bisa dipelajari adalah:

Bahwa laki-laki lebih menguasai hal-hal global daripada perempuan.
Bahwa perempuan lebih menguasai hal-hal rinci daripada laki-laki.

Makanya, pemetaan pikiran laki-laki biasanya lebih global, simple, meluas dan tepat dibandingkan perempuan yang kadang pemetaan pikirannya lebih fokus ke furu' mufashshalah (cabang-cabang rinci) yang bahkan kadang menurut laki-laki ga penting sama sekali. Contoh:

Laki-laki kalau mau safar, modal dengkul juga jadi. Simple. Tapi perempuan? Jangan harap cuma modal pakaian. Perempuan lebih berfikir ke furu', sampai minyak kayu putih, bahkan sampai memikirkan jarum. Kayak mau nyantet orang aja.

Laki-laki kalau mau ke kajian, atau ke mall, atau ke pasar, atau ke kantor, tidak begitu memikirkan kosmetik. Asal baju rapih dan matching, selesai. Jangan tanya perempuan tentang mereka saat mau pergi ke sana.

Laki-laki saat di kajian, mendengarkan ustadznya, sambil menata mind-mapping global. Rincinya tidak penting-penting amat. Ego dan rasa 'keperkasaan' mereka akan berkata, 'Ah, gue juga bisa mikirin rincinya sendiri tanpa di-talqin'. Beda sama perempuan, mendengarkan ustadznya, sambil banyak mencatat. Sehalaman, dua halaman, sampai banyak. Setelah itu ya sudah. Kalau diadu sama laki-laki, malah bisa kalah. Karena laki-laki lebih menguasai ushul, sedangkan perempuan lebih menguasai furu'. Dan mereka yang menguasai ushul, lebih layak jadi pemimpin daripada yang lebih dominan penguasaan furu'. Iya. Kalau diadu sama laki-laki, malah bisa kalah. Tapi kecenya, kalau laki-laki ternyata yang kalah, mereka akan beralasan, 'Ya wajar lah, wong akhwat pada nyatet, saya nggak.'

Ga wajar, mas. Antum cuma jiping (ngaji kuping), jihadnya di telinga doang. Beda sama akhwat-akhwat itu, mereka jihadnya di kuping, tangan dan hati. Jihad di kuping? Ya dengerin. Jihad di tangan? Ya mencatat. Jihad di hati? Ya menahan perasaan supaya ga suka sama ustadznya. (emoticon merem lalu ada setetes keringat di pojok kepala sebelah kiri)

Laki-laki itu exist di pertama. Dia bisa berfoya dengan kemegahan. Tapi semegah-megahnya bujang dan jomblo, kalau belum beristri, maka kemegahannya ghayru mu'tabar (ga teranggap). Malah dunia akan tertawa kalau seorang bujang sudah mapan tapi belum mau beristri. Mencari ilmu pun tidak. Ini abnormal. Perlu dipertanyakan dosis kelelakiannya. Coba tengok kisah Nabi Adam.

Nabi Adam alaihissalam, awalnya tinggalnya di surga. SURGA! SURGA! Apa sih yang ga enak di Surga? Enak semua, bro! Apa-apa azek. Tapi semegah-megahnya taraf hidup beliau di Surga, tetap saja beliau suatu kala merasa murung. Ada yang kurang. Ada fitrah yang belum dilengkapi. Ada relung jiwa yang belum diisi. Perempuan. Ah, itu dia. Hidup laki-laki sehebat apapun tetap saja dependant pada makhluk halus bernama 'perempuan'. Maka, Allah berikan pasangan buat Nabi Adam. Seneng....

Tapi memang sudah lazimnya. Ujian mesti ada. Susah seneng tetap saja ada ujiannya. Nabi Adam meminta perempuan, namun kemudian dengannyalah beliau terjatuh. Ke bumi. Ke dasar. Cobaannya ada.

Makanya, jangan mengira after-marriage itu ketemunya Surga doang. Salah besar. Ujiannya banyak. Kegalauannya malah lebih banyak, lebih rutin dan lebih tinggi intensitasnya dibandingkan kegalauan bujang. Tapi tentu saja penyembuhnya lebih available dibandingkan buat bujang. Semua itu kalau di-manage sesuai syariah, bakal berpahala besar.

Dan dari semua kegalauan, baik sektor ekonomi, sosial, dan psikologi, ternyata laki-laki sangat matching untuk menghadapinya bersama perempuan. Tidak bisa satu doang. Harus berdua. Kenapa? Karena laki-laki lebih menguasai ushul, sedangkan perempuan lebih menguasai furu'.

Dari sektor ekonomi, laki-laki lebih mampu mencari uang banyak dan memang keharusannya mencari nafkah. Pas awal bulan (bagi orang kantoran), seluruh atau sebagian uang di-manage istri. Ada nafkah khusus buat istri, ada juga dana umum. Istri, yang lebih suka masalah furu', bakal lebih mampu handle ini. Really. Kalau laki-laki yang handle beginian, istri bisa terzhalimi. Rumah tangga bisa rapuh. Sudahlah, biar ditangani istri. Nanti pas belanja bulanan, di market istri cari semua barang di semua rak, suami cuma cari satu: bangku. Hehe.

Dari sektor sosial, laki-laki tidak begitu suka kepoin orang secara detail. Beda bingits sama perempuan. Makanya, tensi ghibah perempuan lebih besar daripada laki-laki. Makanya juga, anak-anak ngaji yang lebih suka ngomongin fulan dan fulan, itu lebih layak digelari 'banci mengaji' dibandingkan anak ngaji. Mirip perempuan. Makanya gan, jangan mengetahui personal seseorang secara detail, karena pengetahuan tersebut bakal mendorong untuk berghibah. Kecuali personal Rasulullah. Itu lain lagi. Baiklah. Kemudian, istri lebih bisa dijadikan senjata untuk urusan-urusan sosial. Arisan, rukun tetangga, musyawarah di gerobak sayur sambil acak-acak barang dagangan, kajian-kajian kampung dan pesta pernikahan. Itu semua girly (baca: emak-emak) banget. Tentu saja aneh jika arisan hanya dikuasai laki-laki, lalu para bapak-bapak ngegosip di gerobak sayur. Ga pantes. Makanya, kalau mau siarkan nikah di kampungmu, tidak usah repot-repot buat kertas undangan. Irit aja. Itu buat orang jauh aja. Untuk sekelurahan, cukup bicara sama nenek-nenek atau emak-emak "Saya mau nikah sama "namalengkap(spasi)tanggal(spasi)dimana(spasi)kokbisaya?""

Dari sektor psikologi: laki-laki dengan keperkasaannya akan rapuh tanpa perempuan, dan bisa mudah rapuh karena perempuan. Perempuan dengan kelembutannya bisa menjadi pejuang gigih karena laki-laki. Berjuang sabar, tekun, baik-baik dan...

Semua akan cie cie pada waktunya...

Siapapun dari sesiapa punya harapan tentang siapa, namun siap-siaplah. Jangan sampai hanya berharap tanpa bekal dan perjuangan. Semakin besar perjuanganmu dan kesabaranmu, menunjukkan semakin kamu menghargai harapanmu sendiri dan menghargai dia yang kamu harapkan. Iya, menghargai dia, yang kamu harapkan. Barangsiapa yang menghargai, ia akan dihargai.

Tetaplah kamu laki-laki menjadi pemimpin
Tetaplah kamu perempuan menjadi sandaran pemimpin

Saat kamu datang ke kondangan "fulan vs fulanah", mereka akan bertanya 'kapan kamu nyusul'. Sakitnya tuh di sana sini. 
Pas ngobrol asik-asik sama temen-temen, mulai ada yang membahas topik begitu, 'kamu kapan?' Sakitnya tuh di perasaan.
Lihat pasangan gandengan enak banget. Lalu, karena ga ada yang bertanya, malah diri sendiri yang bertanya, 'saya kapan?' Sakitnya udah ga pake perasaan.

Kalau mengingat pertanyaan 'kamu kapan?' 'kamu kapan?' 'kamu kapan?', rasanya sendi-sendi begitu sakit. Memang, sendi-sendi biasanya sakit karena sendirian.

Tapi percayalah, (emoticon senyum), kamu ga usah banyak kirim biodata, cukup perbaiki diri, kirim proposal kepada Allah setiap selesai shalat dan setiap 1/3 malam terakhir, jaga diri, pantaskan diri dan tawakkal, maka:

"Semua Akan Cie Cie Pada Waktunya"

Share:

Minggu, 03 Januari 2016

Kamu Yang Aku Rindu

Mungkin aku terlalu erat menggenggammu

Layaknya sekumpulan pasir yang digenggam oleh tangan, semakin erat digenggam, pasir itu justru semakin berjatuhan ke luar dari sela-sela jari, hingga habis tak tersisa. Tapi jika kita genggam biasa saja, pasir itu justru tetap utuh berada di tangan.

Seharusnya aku sadari,
Bahwa akan tiba suatu masa di mana aku dan kamu akan pergi ke arah yang berlawanan. Menuju sebuah angan bersama pengharapan akan masa depan.

Seharusnya aku sadari,
Bahwa kamu tak selamanya ada di sisi, menemani, menghadirkan tawa, dan bahkan untuk sekadar menghapus luka.

Entah untuk berapa lama kita harus terpisah, rasanya tiap detik yang bergulir hanya menambah rasa rindu yang aku sendiri tak bisa menjelaskannya.

Di saat malam menyapa, di saat itu pula aku berharap kamu pulang.
Di saat malam mulai tergantikan, ku berharap jarak aku dan kamu hanya sejauh tatapan.
27 Desember 2015
-Dwihanda Firdaus

Share:

Inspirator Muda

Karena kuantitas tak menentukan kualitas.

Sedikit pemuda pemberi solusi lebih baik dari banyak pemuda pencaci.

Negeri ini tak akan berubah jika kita hanya berkomentar tanpa tindakan nyata.

Jangan menilai suatu usaha kecil akan percuma, karena itu lebih baik daripada berdiam diri saja.

Bagaimana bisa kita menikmati kemudahan tanpa sebuah usaha. Tidak malukah kita menertawakan ketidakberdayaan?

Kelak, masa muda ini akan dipertanyakan untuk apa ia dihabiskan.

Jika sampai saat ini kita tak melakukan perubahan, lalu apa yang akan kita katakan kepada Tuhan sebagai jawaban?

Tak ada kata terlambat, karena sesungguhnya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Jangan bingung, jangan minder, jangan merasa ga punya bakat apa-apa. Karena Allah telah memberikan setiap manusia kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Kita melangkah bersama, saling melengkapi satu sama lain.

Jika negeri ini punya banyak masalah besar, maka kitapun harus berani bermimpi besar untuk bisa memperbaikinya. "Ah mana mungkin...kita mah apa atuh." Itu adalah jawaban orang-orang yang tak percaya diri. Orang-orang seperti itu bakalan jauh dari kesuksesan. Wong belum nyoba udah pesimis.

Ingat AYGM (Apa Yang Gak Mungkin) bagi Allah?

Mimpi itu terasa sangat dekat bagi mereka yang percaya. Bermimpi, usaha yang diringi doa, maka biarlah Allah tentukan hasilnya.

Karena berjamaah lebih baik daripada sendirian. Yuk melangkah bersama untuk
#MenginspirasiIndonesia😊

Dari seseorang yang menyayangimu karena Allah,
Dwihanda Firdaus

Share: